Jumat, 19 Desember 2008

UU MINERBA DISKRIMINATIF

Pengusahaan dan pengelolaan pertambangan, khususnya mineral dan batu bara, memasuki era baru dengan disetujuinya Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) oleh DPR pada Selasa. Era baru itu ditandai dengan pemberian izin oleh pemerintah bagi pengusahaan dan pengelolaan pertambangan minerba.
Sebelumnya, berdasarkan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, pengusahaan
dan pengelolaan pertambangan di negeri ini menggunakan pola kontrak karya. Dengan pola ini, manfaat yang diperoleh bangsa Indonesia dari pengusahaan dan pengelolaan pertambangan minerba dinilai tidak maksimal, karena posisi negara yang sejajar dengan perusahaan pertambangan.

Padahal, negara merupakan pemilik seluruh deposit minerba yang ada di perut bumi Indonesia. Seluruh kekayaan tambang itu harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, kehadiran UU Minerba merupakan angin segar bagi upaya memanfaatkan seluruh kekayaan tambang semaksimal mungkin. Apalagi UU ini memiliki sedikitnya empat kelebihan dibandingkan dengan UU No. 11 Tahun 1967.

Pertama, pengusahaan dan pengelolaan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin oleh pemerintah. Dengan pola ini, posisi negara berada di atas perusahaan pertambangan, sehingga negara memiliki kewenangan untuk mendorong perubahan kesepakatan bila ternyata merugikan bangsa Indonesia.

Kewenangan ini tidak ditemukan dalam pola perjanjian kontrak karya. Pada pola ini, perusahaan pertambangan berada dalam posisi sejajar dengan negara. Perubahan atas kontrak hanya dapat dilakukan dengan kesepakatan kedua pihak.

Kedua, memperjelas desentralisasi kewenangan pengelolaan pertambangan. Artinya, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota juga diberi kewenangan untuk mengeluarkan izin pertambangan di wilayahnya.

Kewenangan tersebut memungkinkan daerah memiliki kesempatan untuk memperoleh penghasilan dari pengusahaan terhadap pertambangan minerba tersebut. Hal ini pada gilirannya akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah.

Ketiga, mengakui kegiatan pertambangan rakyat dalam suatu wilayah pertambangan. Pengakuan ini penting mengingat selama ini kegiatan pertambangan rakyat dikategorikan liar dan ilegal, sehingga dilarang dengan ancaman hukuman yang cukup berat.

Padahal, kegiatan ini sudah berlangsung lama dan dilakukan secara turun-temurun di sekitar lokasi pertambangan yang diusahakan, baik oleh BUMN maupun swasta. Kalau demikian faktanya, mengapa pertambangan rakyat mesti dilarang dan dikategorikan sebagai kegiatan ilegal? Bukankah rakyat juga memiliki hak untuk memanfaatkan kekayaan minerba untuk kemakmurannya?

Keempat, UU Minerba mewajibkan perusahaan pertambangan yang sudah berproduksi untuk membangun pabrik pengolahan di dalam negeri. Kehadiran pabrik itu penting dalam upaya meningkatkan nilai tambah dari bahan tambang minerba, selain membuka lapangan kerja baru bagi rakyat Indonesia.

Pembangunan pabrik pengolahan itu juga akan menimbulkan trickle down effect bagi masyarakat di sekitar lokasi pabrik. Kondisi ini pada akhirnya dapat meningkatkan aktivitas ekonomi dan kesejahteraan rakyat di sekitar lokasi pabrik.

Namun, UU Minerba dinilai diskriminatif, sehingga tiga fraksi di DPR-PAN, PKB, dan PKS-memilih walk out ketika sidang paripurna pengesahan UU itu. Diskriminatif karena UU itu jelas-jelas melindungi kepentingan perusahaan tambang, pemegang kontrak karya, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara. Kebanyakan kontrak perusahaan pertambangan yang ada baru berakhir pada 2021-2041.

Oleh karena itu, UU Minerba rawan digugat ke Mahkamah Konstitusi. Kalau demikian keadaannya, dapatkah UU itu mengatur pengusahaan dan pengelolaan sumber daya mineral dan batu bara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia?

Senin, 15 Desember 2008

Tambang Emas Diupayakan Legal


* Wabup: Tim Akan Turun ke Gunong Ujeuen

Serambi , 15 Desember 2008
CALANG-Pemkab Aceh Jaya masih terus melakukan koordinasi dengan lembaga teknis untuk mengupayakan lokasi tambang emas di Gunong Ujeuen, Kecamatan Krueng Sabe tetap bisa dikelola dengan baik oleh masyarakat. “Tim Pemkab dan Dinas Pertambangan Pemprov sudah sudah duduk bersama guna turun ke Gunong Ujeuen,” kata Wakil Bupati Aceh Jaya, Zamzami A Rani, Minggu (14/12).

Menjawab Serambi, Zamzami menyatakan prihatin dengan korban jiwa di lokasi tambang mas Gunong Ujeuen yang sudah beberapa hari terakhir kembali diserbu warga pascaditutupnya lokasi itu oleh Pemkab beberapa pekan lalu. Tim dari Pemkab dan Dinas Pertambangan Aceh sudah duduk bersama beberapa hari lalu guna membahas lokasi itu sehingga dengan harapan bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lokasi lapangan kerja.

Namun, tim juga mengkaji apakah dimungkinkan atau tidak untuk tetap digali oleh warga tetapi tidak merusak lingkungan setempat. Bahkan, jelas Zamzami harapan tidak terjadi lagi longsor sehingga lokasi Gunong Ujeuen benar-benar bermanfaat, sebab masyarakat kini sangat berharap lokasi itu bisa digali guna menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Hasil koordinasi dengan masyarakat menyimpulkan korban yang meninggal di lokasi Gunong Ujeuen memang dalam keadaan sakit. Dan ia berhadap tim bersama yang akan ke lokasi dapat membawakan hasil yang baik dengan harapan bisa legal digali oleh masyarakat.

“Jadi memang serba salah, warga di lokasi itu menggali sebagai pekerjaan sehari-hari menutupi kebutuhan hidup karena sulit mencari pekerjaan lain,” sebut Zamzami.

Sumber di Krueng Sabe menambahkan pada Minggu (14/12) lokasi Gunong Ujeuen tetap dipadati warga menggali batu emas. Mereka juga prihatin terhadap meninggalnya lagi warga di lokasi yang merupakan musibah kedua dalam beberapa waktu terakhir.

“Korban yang meninggal itu memang dalam keadaan sakit, jadi ia tetap menggali sehingga meninggal di lokasi,” tukas Razali, tokoh warga Kecamatan Krueng Sabe.

Seperti diberitakan seorang warga Kecamatan Krueng Sabe, Aceh Jaya, M Yusuf Ali, Sabtu (13/12) sore menjadi korban di lokasi penambangan emas Gunong Ujeuen. Korban meninggal diduga karena kelelahan dan sakit. Sebelumnya, korban yang meninggal Abdurrahman warga Mon Mata Kecamatan Krueng Sabe karena tertimbun longsor ketika sedang menggali. Pascamusibah itu, lokasi tambang ditutup, tetapi dalam beberapa hari terakhir kembali diserbu warga.(riz)

PETI (Penambang Tanpa Izin )

Peti................................................
Kegiatan usaha pertambangan tanpa izin (PETI) secara substansial menunjang pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat di wilayah-wilayah tersebut, kebanyakan operasi penambangan menimbulkan kerusakan lingkungan atau tata ruang penggunaan lahan serta mengabaikan perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Hingga saat ini pertumbuhan PETI semakin berkembang tidak saja terhadap bahan galian emas tetapi juga batubara, bahkan dilakukan di sekitar/sekeliling wilayah-wilayah pertambangan resmi berskala besar sehingga mengakibatkan terjadinya konflik dengan para pemegang izin usaha pertambangan tersebut. Perkembangan PETI sudah mencapai tahap yang cukup menghawatirkan karena juga menimbulkan tumbuhnya perdagangan produk pertambangan di pasar-pasar gelap (black market trading), yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap penghindaran pajak resmi penjualan produk pertambangan. Mengantisipasi kemungkinan peningkatan dampak negatif di masa mendatang dari keberadaan PETI, seyogyanya Pemerintah melalui Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral melakukan upaya penerapan kebijakan yang tepat untuk mengubah status pertambangan tersebut menjadi pertambangan resmi berskala kecil. Diperlukan pembuatan kebijakan yang baru atau memodifikasi produk hukum lama, melalui upaya analisis atau sintesis terhadap peraturan tentang pertambangan skala kecil. Pertambangan skala kecil hendaknya berorientasi kepada keekonomian masyarakat setempat, penjagaan keseimbangan lingkungan dan tata ruang wilayah pertambangan, serta yang terpenting memberikan kontribusi kepada kepentingan pembangunan sosial ekonomi khususnya daerah otonom dan pada gilirannya berpengaruh secara nasional.

Minggu, 14 Desember 2008

Lagi, Penambang Emas Tewas di Gunong Ujeuen


Serambi, 14 Desember 2008

BANDA ACEH - Seorang lagi penambang emas tradisional di Gunong Ujeuen, Kecamatan Krueng Sabee, Aceh Jaya menemui ajal di lokasi tambang tersebut, Sabtu (13/12) sore. Korban bukan tewas akibat tertimbun di lubang galian tetapi meninggal ketika beristirahat karena keluhan sakit kepala.

Kasubbag Humas Setdakab Aceh Jaya, Fajri kepada Serambi tadi malam menginformasikan, penambang yang meninggal di lokasi Gunong Ujeuen kemarin bernama M Yusuf Ali Mekanik. Almarhum merupakan adik dari Ruslidar, Ketua Lorong II Desa Keutapang, Kecamatan Krueng Sabee.

Menurut informasi yang diterima Fajri dari Razali, warga Desa Kayee Seumantok, Kecamatan Krueng Sabee, kematian M Yusuf sangat mengejutkan rekan-rekannya sesama penambang.

Soalnya, menjelang meninggal, Yusuf sempat mengeluhkan sakit kepala dan ia langsung beristirahat. Ketika sudah sore dan menjelang pulang, kawan-kawannya membangunkan. “Saat itulah kawan-kawan Yusuf terperanjat karena mendapati Yusuf sudah tak bernyawa. Suasana duka dan kesedihan melingkupi lokasi penambangan tersebut,” ujar Fajri.

Dari lokasi penambangan, jenazah Yusuf ditandu oleh rekan-rekannya ke Desa Geunie (Panggong) yang berjarak sekitar enam kilometer dan selanjutnya dibawa pulang ke rumah duka.

Sebelumnya, pada 20 November 2008, salah satu titik galian runtuh menyebabkan seorang dari enam penambang yang sedang mencari batu emas di lubang itu tewas tertimbun. Penambang yang menemui ajal waktu itu bernama Abdurrahman bin Daud (35), warga Mon Mata, Kecamatan Krueng Sabee.

Beroperasi kembali

Sekitar 10 hari setelah tragedi itu, masyarakat melakukan doa bersama di Gunong Ujeuen, Kecamatan Krueng Sabee, Aceh Jaya. Setelah doa bersama itu warga memulai lagi aktivitas penambangan sebagai mata pencaharian sehari-hari. Warga mengaku tak punya pilihan untuk mencari sumber ekonomi, sehingga tak menggubris larangan penambangan yang telah dikeluarkan Pemkab Aceh Jaya.(nas)

Senin, 24 November 2008

Heboh Penambangan Emas Di Krueng Sabee


Gunong Ujeuen Diserbu

Serambi ; 20/11/2008

CALANG - Gunong Ujeuen, sebuah kawasan pegunungan di Desa Panggong, Kecamatan Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya, sejak dua pekan terakhir menjadi buah bibir. Kawasan pedalaman yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Kota Calang (ibukota Aceh Jaya) itu diserbu masyarakat dari berbagai penjuru untuk mencoba peruntungan mendapatkan bijih emas dari ongkahan-bongkahan batu. Wartawan Serambi, Muhammaddiyah Nurdin dan fotografer Muhammad Anshar, Sabtu 15 November berangkat ke Calang dan selanjutnya ke Gunong Ujeuen untuk melihat secara langsung geliat masyarakat melakukan aktivitas penambangan emas secara tradisional.

Jarak Calang-Panggong 24 kilometer dengan kondisi ruas jalan berbatu. Selanjutnya dari Panggong ke Gunong Ujeuen (lokasi penambangan) sejauh enam kilometer melewati bekas jalan HPH yang naik turun dan dipenuhi kubangan lumpur yang kedalamannya mencapai 50-70 centimeter. Untuk mencapai Gunong Ujeuen, selain dengan jalan kaki juga harus menggunakan kendaraan khusus berpenggerak empat roda.

Di Gunong Ujeuen, saat ini ada empat titik penambangan rakyat dengan jarak antara 500 meter hingga 1 kilometer dari satu titik ke titik lainnya. Jika melihat dari atas, kawasan pegunungan itu bagaikan dikerumuni jutaan semut. Seribuan manusia, mulai anak-anak hingga orangtua, setiap hari menggali tanah mencari bebatuan emas. Bahkan, masyarakat dari luar Aceh Jaya, juga tidak mau ketinggalan merambah ke kawasan itu. Masyarakat setempat sangat terbuka, asal bisa menyesuaikan dengan ‘aturan’ yang mereka buat.

Masyarakat luar daerah yang ikut menyerbu ke Gunong Ujeuen, di antaranya dari Aceh Barat Daya (Abdya), Aceh Selatan, Aceh Barat, Singkil, dan Pidie. Masyarakat pendatang tinggal di rumah sanak famili atau kerabat dekat di Kota Calang atau Krueng Sabee.

Untuk masuk ke kawasan Desa Panggong atau lokasi penambangan tidak mudah karena harus melewati pos penjagaan oleh warga setempat. Penambang yang ingin memasuki lokasi harus meninggalkan indentitas diri, seperti KTP.

“Siapapun yang ingin ke lokasi melakukan penambangan, silakan saja. Akan tetapi, para penambang harus tinggalkan KTP. Tujuannya agar jumlah penambang bisa dikontrol dan bisa dicari kalau tidak kembali,” kata Irwansyah, tokoh pemuda setempat.

Di lokasi penambangan, tidak diperbolehkan bermalam dengan alasan keamanan. Bahkan di kawasan dekat pertambangan emas itu ada bekas gubuk terbakar. Gubuk itu dibakar warga agar tidak ada yang menginap. “Dulu ada masyarakat membandel, pada malam hari masih menambang. Kita khawatir mereka dimangsa binatang buas seperti harimau atau terkubur tanah galian saat menambang. Gajah juga sering berkeliaran di lokasi itu,” ujar Irwansyah.

Karena dilarang bermalam, maka setiap sore terlihat rombongan penambang keluar dari lokasi sambil menggendong atau menjunjung goni berisi batu untuk dibawa ke lokasi-lokasi penggilingan batu yang semakin menjamur di Kecamatan Krueng Sabee. Dari dalam batu itulah––jika memang beruntung––mereka mendapatkan bijih-bijih emas untuk penyambung kehidupan.

Ritme kehidupan benar-benar telah berubah di sebuah kawasan pedalaman Aceh Jaya bernama Gunong Ujeuen. Jika dulu warga setempat menggantungkan hidup dari hasil hutan––terutama kayu––kini harapan untuk berubah mulai memancar dari bongkah-bongkah batu.

Selasa, 16 September 2008

Eksplorasi Emas Di Aceh

PT.Emas Mineral Murni saat ini sedang melakukan kegiatan eksplorasi emas dmp dipropinsi Nanggroe Aceh Darussalam yaitu kabupaten Nagan Raya.Aktivitas yang dilakukan meliputi mengumpulan data fisik dan geografi seperti pengambilan contoh sedimentasi, batuan, dan saat ini juga dilokasi tersebut telah dilakukan kegiatan pengeboran eksplorasi untuk pengambilan sample batuan bawah permukaan. Sample batuan hasil pengeboran dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pengujian guna mengetahui kandungan batuan tersebut.

Kegiatan yang dilakukan PT.Emas Mineral Murni ini membuktikan bahwa kondisi aceh saat ini sudah cukup aman untuk berinvestasi.Bagi masyarakat dengan adanya kegiatan eksplorasi yang dilakukan perusahaan tersebut ternyata telah bisa sedikit membantu menggerakkan roda perekonomian daerah sekitar lokasi tersebut. Karena saat ini banyak masyarakat sekitar yang bisa ikut bekerja pada kegiatan eksplorasi tersebut.
Kita menyambut baik itu, dan mudah-mudahan kegiatan eksplorasi yang dilakukan bisa berjalan lancar.

Senin, 01 September 2008

Peran Kontraktor Migas Masih Minim Di Aceh

Aceh – TAMBANG. Naggroe Aceh Darussalam (NAD) dikenal sebagai salah satu provinsi yang kaya akan sumber daya alam, terutama minyak dan gas bumi (migas). Beberapa perusahaan asing diketahui sudah beroperasi sejak lama di wilayah itu. “Sayangnya, kontribusi para kontraktor migas itu bagi masyarakat Aceh masih sangat minim,” ujar Walikota Banda Aceh, Mawardy Nurdin. Hal ini diungkapkan Mawardy disela-sela peresmian dan serah terima bangunan Politeknik Aceh dari Chevron kepada Pemerintah Indonesia, di Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh, Jumat, 29 Agustus 2008. Pada hari yang sama, media lokal di Aceh juga sedang ramai memberitakan dugaan keterlibatan Exxon Mobile, atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di wilayah itu, saat konflik bersenjata masih berlangsung beberapa tahun silam. Mawardy mengaku kecewa, karena selama ini kontribusi beberapa kontraktor migas yang beroperasi di Aceh terhadap masyarakat di Tanah Rencong, masih jauh dari harapan. Diantaranya Exxon Mobile dan Medco, yang kontribusinya dinilai masih sangat minim. “Anda bisa lihat kan, tidak ada sesuatu yang terjadi di Aceh meski mereka sudah beroperasi sejak lama,” kata Mawardy.Mawardy mengatakan, kemitraan yang dibangun antara Chevron, USAID, dan Pemerintah Indonesia dalam CARI (Chevron’s Aceh Recovery Initiative), mestinya dicontoh oleh banyak pihak lainnya. Karena program itu langsung memberikan kontribusi bagi pemenuhan hajat hidup utama masyarakat. Kontraktor migas yang lain harusnya malu pada Chevron, yang tidak memiliki lahan operasi di NAD. “Belum ada kontraktor migas lain yang membantu sebesar Chevron,” ujarnya. Hal senada diungkapkan oleh anggota masyarakat setempat. Nizar, salah seorang tokoh pemuda di Banda Aceh mengatakan, apa yang diberikan Exxon dan Medco selama ini baru sebatas charity. Belum terlihat adanya upaya memberikan kontribusi yang nyata, guna meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Serambi Mekkah. “Yang mereka lakukan biasanya bagi-bagi sembako, sunatan massal, dan lain-lain. Kalau itu sih, Karang Taruna saja bisa. Paling butuh dana berapa puluh juta rupiah,” jelasnya kepada Majalah TAMBANG. Dia menambahkan, yang dibutuhkan masyarakat Aceh saat ini adalah modal kerja dan pendidikan. Karena pasca tsunami yang meluluhlantakkan daerah itu, masyarakat banyak kehilangan mata pencaharian dan sarana pendidikan. Soal dugaan keterlibatan pelanggaran HAM yang dituduhkan kepada salah satu kontraktor migas, Nizar menyatakan perlu penyelidikan lebih dalam. Karena selama konflik bersenjata dan DOM (Daerah Operasi Militer) berlangsung di Tanah Rencong, banyak investor yang mencari perlindungan pada aparat negara dalam hal ini TNI. “Setahu saya ada kontribusi logistik dari para investor untuk TNI, agar aset-aset mereka dilindungi dari risiko penjarahan,” ungkapnya kepada Majalah TAMBANG.

Sabtu, 30 Agustus 2008

Dipatok Lokasi Tambang Timah di Agara

Kutacane - Batas pertambangan timah hitam di Desa Jambur Lak-lak Kecamatan Ketambe Aceh Tenggara (Agara) mulai dipatok. Pematokan untuk tidak melewati batas-batas wilayah hutan lindung maupun Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). “Dalam penentuan batas ini, kita melibatkan tim terpadu dari dinas kehuatanan maupun perindustrian dan perdagangan Agara,” sebut Direktur Utama PT Pasifik Lautan Berlian Syaharudin Sembiring melalui Kepala Bagian personalian Arafik Beruh selaku pengembang, Sabtu (5/7). Arafik menyebutkan, pematokan lokasi oleh tim terpadu berjumlah 14 orang dengan membawa fasilitas peta maupun alat-alat khusus. Dari hasil rangkaian pematokan batas itu, luas areal yang akan dijadikan sebagai lokasi pertambangan tersebut, diperkirakan mencapai 400 hektar. “Yang letak lokasinya dari jalan raya Kutacane-Blangkejeren, di Desa Jambur Lak-lak itu, sekitar 4 kilometer,” jelas Arafik.Dia mengimbuhkan dengan dibuka pertambangan timah ini diharapkan dan diutamakan tenaga kerja diambil dari putra-putri Agara. Sehingga, pemberdayaan perekonomian terhadap masyarakat lokal bisa bertambah meningkat. “Kecuali itu, pendapatan asli daerah juga bisa bertambah sumbernya dari pertambangan ini,” demikian kata Arafik.

Hydro Seeding Untuk Reklamasi Sementara

Jakarta-TAMBANG- Beberapa perusahaan tambang belum memperhatikan program reklamasi dan revegetasi di areal tambang. Kebanyakan perusahaan tambang yang belum memperhatikan program tersebut adalalah perusahaan kelas menengah dan kecil. Demikian diungkapkan Direktur Tehnik dan Lingkungan, Direktorat Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Departemen ESDM kepada majalah Tambang kemarin (Rabu, 27 Agustus 2008).Persoalan ini, menurut Marpaung ,menjadi concern utamanya setelah diangkat menjadi Direktur Lingkaungan beberapa waktu lalu. Memang diakuinya dibeberapa tambang, masih ada yang sedikit mengabaikan aspek reklamasi dan revegetasi tersebut. Karena itu, mantan Direktur Pengusahaan ini, akan melakukan langkah-langkah konkrit, menyelesaikan hal tersebut.Beberapa perusahaan tersebut, ujarnya lagi beralasan bahwa, mereka masih menunggu sekitar 6 hingga 9 bulan lagi untuk melakukan kegitan reklamasi secara utuh, namun menurutnya, jika hal tersebut dilakukan sejak sekarang, akan lebih baik, menghindari stigma yang selama ini berkembang bahwa Tambang identik dengan kerusakan lingkungan.“Paling tidak, ada konsep penanaman sementara, baik biji-bijian, kacang-kacangan, tanaman merambat dan sebagainya. Sehingga paling tidak, tanaman sementara tersebut, dapat menahan laju erosi dan kalaupun mati, bias dijadikan humus,” jelasnya.Salah satu metode penanaman sementara menurut Marpaung, yaitu dengan menggunakan hydro seeding. Dalam penjelasannya, mesin Hydro Seeding tersebut, bias menggunakan dua pola, yaitu Heavy duti untuk perusahaan besar dengan luas lahan yang besar atau bagi perusahaan menengah dan kecil menggunakan portable mesin.Cara kerja hydro seeding berjenis portable ini, menggunakan mobil atau truk, dengan tangki air dan alat penyemprotnya. Dalam tangki tersebut diberikan media cair, sejenis jeli, yang sudah dimasukan berbagai jenis biji-bijian. Setelah tercampur media dan bibit tumbuhan kemudian disiram di tanah atau batu, sehingga dalam beberapa hari mulai tumbuh. Bahkan ini juga katanya, bisala dilakukan di dinding-dinding bekas galian tambang. Ini dilakukan, untuk mengeliminir kesan yang ada bahwa disetiap lahan tambang, tanahnya pasti kerontang. Karena itu, sebagai Direktur Tehnik dan Lingkungan, ia menghimbau kepada semua perusahaan tambang, harus memiliki nursery. Namun lebih jauh ia mengatakan, jenis pohon dan tanaman pun, harus unggulan dan memiliki kearifan lokal. “Jangan hanya sekedar menggugurkan kewajiban trus pohonnnya asal-asalan, harus yang benar-benar unggul. Kemudian juga dengan jenis pohon yang sudah akrab dengan kondisi alam di daerah tersebut,” katanya.Untuk jenis tanaman unggulan dan varietas pohon yang akan ditanam, ia mengusulkan kepada perusahaan tambang untuk bekerjasama dengan universitas-universitas setempat yang memiliki program studi kehutanan.Ini semua dilakukan, ujarnya lagi sebagai bentuk tanggungjawab sektor pertambangan terhadap lingkungan. Komitmen ini, harusnya, tidak saja oleh perusahaan-perusahaan besar, tetapi juga dilakukan oleh perusahaan tambang skala medium atau kecil. Lebih jauh ia mengatakan, saat penyelenggaraan konferensi dunia untuk perubahan iklim di Bali, Desember 2007 lalu, telah ditandatangni kespakatan green mining oleh kementrian ESDM dan Kehutanan. IA mengaku belum mengetahui persis apa saja kegiatan yang dilakukan, tetapi paling tidak, green mining, harus menjadi concern kita semua.“Saya akan mendatangi pak Jeffery (Jeffrey Mulyono, deklataror Green Mining-red), untuk mengetahui kegiatan yang sudah dilakukan, dan penjajakan kemungkinan kegiatan yang bia dilakukan bersama, dalam rangka green mining tersebut,’ urainya, []

Senin, 18 Agustus 2008

Lingkungan Hidup dan Dunia Pertambangan

Badai moneter yang menghantam di pertengahan 1997 memaksa ambruknya system ekonomi Indonesia yang terpusat pada orientasi pasar. Kegagalan pasar yang mengangkat derajat kemiskinan -ditandai tingginya pengangguran akibat PHK- dan menurunkan daya beli dan kesejahteraan masyarakat. Tercatat bahwa saat itu, tingkat kemiskinan mencapai 85%. Harapan untuk keluar dari terpaan krisis ini memerlukan strategi dan regulasi pemerintah yang menyangkut perencanaan holistik multi sektor.

Meksipun krisis moneter yang berkepanjangan ini, namun industri pertambangan adalah salah satu dari sedikit industri yag mampu survive dan tetap dapat menyumbangkan pemasukan GDP. Dan dengan lebih dari setengah juta jiwa yang bekerja secara formal pada industri ini, termasuk dua juta jiwa yang yang bekerja secara tak langsung, mining corporate industry menyokong keberadaan perusahaan kontraktor dan konsultan.

Salah satu multiplier effect dari hadirnya industri pertambangan yang hampir selalu berawal dari daerah terpencil adalah perannya sebagai penggerak mula (prime mover) pembangunan daerah. Sebutkanlah Sawahlunto yang hidup dari industri batubara, Pomalaa di Sulawesi Tenggara, Cikotok, Balikpapan dan Kutai di Kalimantan Timur dan bahkan Jayapura di Papua. Industri pertambanganlah yang menjadi punggung perekonomian daerah saat itu.

KONDISI PERTAMBANGAN SAAT INI
Investasi Beberapa tahun belakangan, industri pertambangan nyata-nyata menghadapi uncertainty investment climate, mulai dari goncangan anti pertambangan yang makin besar, munculnya UU No. 41/1999 yang sangat sektoral hingga gelombang Trans National Corporate dengan kepentingan isu yang berbeda-beda.

Ada image bahwa pertambangan adalah trouble maker environment and deforestation atau tambang si perusak lingkungan sehingga lebih bak moratorium dan tutup saja semua perusahaan ekstraktif tersebut.

Tidak ada yang salah mutlak dalam pelemparan argument tersebut. Tidak perlu ditolak pula bahwa tambang itu merusak lingkungan. Hanya perlu sedikit pemilahan bahwa berbagai argumen yang dilontarkan dapat dikelompokkan menjadi dua: yang paham dan yang tidak paham tentang pertambangan. Argumen yang dilemparkan oleh pihak yang tidak paham –dan kuantitasnya sangat besar- telah menimbulkan persepsi negatif industri pertambangan dan menyesatkan publik dengan mengeluarkan berbagai statement yang keliru.

Perspektif yang keliru ini yang perlu diluruskan agar terjadi sinkronisasi antara usaha pertambangan dengan persepsi public. Perspektif itu diantaranya:

1. Kekeliruan pertama muncul ketika seluruh kegiatan pertambangan menghancurkan fungsi hutan karena membuka lahan secara ekstensif.

Ini merupakan pendapat yang tidak beralasan dan buta total dan menutupi karakteristik pertambangan yang sebenarnya, karena pendapat ini tidak pernah memikirkan bahwa ada beberapa tahapan berbeda dalam usaha pertambangan. Pertambangan sendiri merupakan rangkaian empat kegiatan utama eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, serta reklamasi.

Eksplorasi merupakan tahapan dimana dilakukan penyelidikan untuk menetapkan keberadaan, karakteristik, kuantitas dan kualitas bahan tambang. Eksplorasi ini merupakan tahapan pertama yang memerluan waktu dua hingga lima tahun dan berisiko tinggi. Perusahaan bisa saja menghentikan kegiatan atau suspended karena tidak mendapatkan cadangan mineral yangn ekonomis meski telah menghabiskan jutaan dolar seperti yang dialami Pacific Nickel di P. Gag yang telah mengeluarkan biaya US$ 60 juta untuk eksplrasi namun tidak berhasil menemukan deposit ekonomis.

Untuk memfasilitasi tahapan eksplorasi ini, pemerintah mengizinkan perusahaan memiliki daerah Kuasa Pertambangan seluas maksimum 25.000 ha (PP 32/1969 tentang Pelaksanaan UU Pokok Pertambangan 11/1967). Namun tidak seluruh lahan ini akan digunakan oleh perusahaan, karena mineral umumnya hanya terdapat di beberapa titik anomaly. Sebagian besar lahan harus dikembalikan kepada negara melalui proses reliquishment. Selain karena akan membebani dari sisi pajak, lahan ini juga tidak ekonomis untuk diusahakan.

Eksplorasi juga tidak akan menggunakaan keseluruhan luasan lahan karena lahan yang diperlukan hanyalah sebatas kebutuhan titik eksplorasi, akses masuk alat bor. Bahkan dengan teknologi canggih seperti seismic dan geophysics, mampu mengurngai jumlah titik bukaan secara signifikan, karena dapat mendeteksi keberadaaan endapan bahan tambang tanpa harus membuka lahan.

Dan pada tahapan eksploitasi, jika perusahaan hanya memiliki izin pengelolaan lahan 25%, tidak seluruh lahan tersebut akan dieksploitasi langsung. Dan rasanya sudah banyak laporan yang menyatakan bahwa seluruh kegiatan eksploitasi pertambangan berizin di Indonesia hanya membuka lahan 135.000 ha atau 0,1% luas seluruh wilayah hutan Indonesia.

2. Perspektif keliru yang kedua adalah tentang pemilihan metode penambangan, muncul anggapan bahwa kepentingan finansial lebih mendasari pemilihan metode open pit (tambang terbuka) dibanding underground.

Perlu diketahui bahwa ada banyak criteria prinsip pemilihan metode penambangan. Tambang terbuka diterapkan untuk menambang cadangan yang letaknya dekat permukaan dengan terlebih dahulu membersihkan lahan dan batuan pengotor. Tambang terbuka ini memiliki produktivitas tinggi, cost operasi yang rendah dan keselamatan yang lebih terjamin.

Sedang tambang dalam (underground) hanya diterapkan untuk mendapatkan cadangan yang berada relatif jauh di bawah permukaan dengan hanya membuka sebagian kecil lahan di permukaan sebagai akses peralatan dan fasilitas pengolahan. Jadi proses pengambilan mineral dilakukan tanpa menggangu aktivitas permukaan. Namun perlu diketahui bahwa tambang ini rentan akan keselamatan kerja. Kita bisa banyak belajar dari China yang kehilangan lebih dari 5.500 pekerjanya tahun lalu akibat ambruknya tambang batubara bawah tanah mereka.

Tidak ada satu manusia pun yang mampu memaksa bahwa endapan mineral itu berada dekat di bawah permukaan atau jauh di dalam. Semua sifatnya alamiah (given by God) dan merupakan kekhasan sifat bahan galian. Jangan memaksa untuk melakukan eksploitasi tambang dalam jika kerentanan keselamatan kerja masih belum teratasi.

3. Perspektif keliru yang ketiga adalah pernyataan semua kegiatan pertambangan merusak lingkungan.

Pernyataan menyesatkan ini rasanya hampir selalu dilontarkan oleh pecinta lingkungan dan kaum conservationist. Rasanya bisa dimaklumi jika mereka yang mengatakan hal itu, dan juga rasanya kesalahan dari industri tambang juga yang rasanya kurang memeluk pemerhati lingkungan dan conservationist.

Anggapan ini tidak berdasar karena mengeneralisasi bahwa seluruh usaha pertambangan sifatnya destruktif tanpa melihat bahwa diwajibkannya reklamasi pada lahan eks tambang. Bahkan pada tahapan pengakhiran tambang (mining closure) juga diwajibkan memperbaiki lahan bukaan. Ada beberapa contoh perusahaan yang berhasil menjalankan hal in seperti Kelian Eguatorial Mining di Kalimantan Timur.

Selain diterapkannya Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di tahapan kelayakkan studi, pada kegiatan pertambangan juga diterapkan best mining practice (not only good) sebagai upaya minimalisasi dampak lingkungan yang terjadi.

Jadi rasanya lengkap kekeliruan persepsi terhadap pertambangan yang sudah bisa diluruskan kembali. Sebuah dialektika pertambangan antara pemanfaatan dengan resiko yang mesti dibayar adalah sebuah penghargaan terhadap perbedaan persepsi. Bukan suatu hal yang perlu dibantah, melainkan sebagai proses pembelajaran pola berpikir. Tidak ada kebenaran sejati, yang mutlak hanya dari Allah SWT.

Minggu, 17 Agustus 2008

GREEN MINING


GREEN MINING

Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development WCED) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang bertujuan memenuhi kebutuhan sekarang dengan mengkompromikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Pembangunan ini menuntut masyarakat agar memenuhi kebutuhan manusia dengan meningkatkan potensi produktif melalui cara-cara yang ramah lingkungan maupun dengan menjamin tersedianya peluang yang adil bagi semua pihak (WCED, 1997). Untuk itu diperlukan pengaturan agar lingkungan tetap mampu mendukung kegiatan pembangunan dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia.
Paradigma sustainable development juga menunjukkan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan mengacu pada keseimbangan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan serentak dan bersamaan. Kebijakan janganlah semata-mata meletakkan basis SDA sebagai andalan ekonomi atau akumulasi modal, tanpa mempertimbangkan faktor lingkungan dan masyarakat yang ada di sekitarnya. Sebaliknya sebuah kebijakan juga tidak dapat semata-mata didasarkan pada isolasi kawasan yang bebas dari intervensi manusia termasuk intervensi ekonomi (eco-totalism).
Pertambangan adalah usaha mengelola sumberdaya alam yang tidak terbaharui dengan mengambil mineral berharga dari dalam bumi. Karena sifat alamiahnya yang merubah bentang alam dan ekosistem, pertambangan memang memiliki potensi untuk merusak lingkungan. Namun dewasa ini, paradigma pertambangan sudah mulai bergeser dari pilar keuntungan ekonomi menjadi tiga pilar, orientasi ekonomi, kesejahteraan sosial dan perlindungan lingkungan.
Berlanjutnya sistem ekologi di sekitar wilayah pertambangan sangat berkaitan pula dengan daya dukung wilayah tersebut. Hal ini disebabkan karena sumberdaya pada suatu daerah yang telah terganggu oleh aktivitas penambangan memiliki batas kemampuan untuk menghadapi perubahan, mendukung sistem kehidupan, serta menyerap limbah.
Meskipun begitu, potensi penurunan fungsi lingkungan akibat aktivitas penambangan masih mungkin terjadi. Tailing sebagai hasil sampingan produk pertambangan ke dalam lingkungan. Karena pembuangan tailing ini berjalan terus seiring produksi perusahaan maka volume yang dikeluarkan juga akan menerus dalam jumlah besar sehingga perlu pengelolaan yang kontinyu dan akurat. Kemudian dengan lubang bukaan akibat proses aktivitas open pit mining yang bisa menyebabkan timbulnya cekungan luas. Ini adalah beberapa potensi yang mungkn terjadi akibat aktivitas pertambangan.

Tetapi banyak orang yang hanya melihat pertambangan dari sisi kerusakan yang ditimbulkan, tanpa mau mengetahui bahwa di belakang semua aktivitas tersebut, aktivitas pertambangan harus selalu diakhiri dengan total mine closure yaitu rangkaian kegiatan penutupan tambang yang memperhatikan faktor lingkungan, kesejahteraan masyarakat dan profit.

Jadi selalu ada ektivitas reklamasi, revegetasi dan penanaman kembali lahan eks tambang. Kemudian penutupan dan pemindahfungsian lahan tambang yang tidak bisa ditanami untuk keperluan lain seperti pembuatan danau atau lokasi perkikanan untuk cekungan yang memang tidak bisa ditanami lagi.

Kekeliruan bahwa pertambangan tidak memiliki konsep kepedulian lingkungan ini yang masih menjadi barier banyak eklogist belum dapat meneirma pertambangan sebagai aktivitas untuk kesejahteraan manusia. Sebagian bahkan memandang sebelah mata dan selalu melihat dengan preseden yang buruk.

GREEN MINING, itulah konsep yang perlu diajukan oleh pelaku dan praktisi pertambangan, sebagai suatu jembatan untuk dapat mensinergikan pertambangan dengan lingkungan. Karena dua hal ini pada dasarnya merupakan aktivitas manusia yang ditujukan untuk dapat memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan hidupnya.

Tambang tidak selalu bersifat merusak, adakalanya dampak yang ditimbulkan itu dapat menjadi berkah untuk kegiatan lain. Tailing misalnya, bukan saja sebagai limbah, namun dapat sebagai sumberdaya jika dimanfaatkan untuk keperluan lain semisal pembuatan batako dan bahan agregat, pembuatan jalan raya maupun bahan pencampur keramik.
Green mining bukan berarti pertambangan tidak bisa melakukan aktivitas penambangan dan pengerukan untuk mendapatkan profit, tetapi disitu ada nilai perlindungan dan penghargaan terhadap lingkungan dan community. Justru yang diharapkan, dengan menerapkan perlindungan lingkungan dan couniy welfare ini, bisa menjadi persyaratan suatu usaha pertambangan untuk dapat meneruskan aktivitas ke tingkat profit yang lebih tinggi


M.Yasir Surya

Kamis, 03 Juli 2008

Terapkan EITI Agar SDA Tak Jadi Kutukan

abraham@majalahtambang.com


TAMBANG, 3 Juli 2008

Selama ini sumber daya alam (SDA) khususnya yang berasal dari perut bumi dianggap telah menjadi ‘kutukan’. Karena selain belum memberikan manfaat yang signifikan bagi kemakmuran, eksploitasi SDA dalam bentuk industri ekstraktif juga telah menimbulkan banyak persoalan lingkungan, sosial, dan kemasyarakatan.

Agar eksploitasi SDA lewat industri ekstraktif dalam bentuk pertambangan mineral, batubara, minyak dan gas bumi, tidak terus menerus menimbulkan ‘kutukan’, sejumlah NGO (Non Government Organisation) yang tergabung dalam Koalisi Nasional Publish What You Pay (PWYP) mendesak Pemerintah Indonesia segera menerapkan (Extractive Industry Transparency Initiative). “EITI akan membantu menata ulang industri ekstraktif Indonesia agar SDA tidak menjadi kutukan,” ujar Koordinator Koalisi Nasional PWYP, Ridaya Laodengkowe.

Menurutnya, kerusakan lingkungan, keterpinggiran masyarakat lokal/sekitar tambang, mandeknya pengalihan saham PT NNT, temuan penyimpangan cost recovery perusahaan migas, dan banyak lagi persoalan lainnya, telah mempertegas adanya ‘kutukan’ atas melimpahnya SDA Indonesia. Ditambah lagi, tidak ada kemauan politik dari penyelenggara negara untuk menata ulang industri ekstraktif secara komprehensif. “Celah-celah hukum cenderung dibiarkan, serta tidak ada pengawasan terhadap eksploitasi yang hanya memperkaya pribadi dan perusahaan,” ujar Ridaya.

Dengan penerapan EITI, industri ekstraktif diletakkan kembali sebagai bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan dan pemberantasan kemiskinan. Tujuannya agar daya rusak lingkungan industri ini dapat ditekan, dan manfaat ekonomi lebih dinikmati oleh rakyat kebanyakan, tidak hanya para elit, perusahaan/korporasi, dan lembaga pembiayaan. Meskipun EITI hanya berupa transparansi aliaran pendapatan dari perusahaan ke kas negara, namun perannya akan sangat besar.

“Peran EITI sangat besar karena dipersyaratkan keterlibatan multipihak, baik pemerintah, perusahaan, maupun masyarakat sipil, dalam memberikan laporan,” ujar Ridaya lagi. Selain itu, ada pula proses validasi laporan secara regular yang akan menjamin mekanisme transparansi EITI. Pada gilirannya hal ini akan menjadi jangkar yang dapat diandalkan untuk mendorong perbaikan dan penataan ulang industri ekstraktif di Indonesia.

http://majalahtambang.com

Pertemuan Pengusaha Pertambangan seAceh

Tanggal 30 Juni 2008, di Aula Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam diadakan pertemuan oleh Dinas Pertambangan & Energi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dalam hal ini mengundang pengusaha-pengusaha /investor yang bergerak dibidang pertambangan. Selain itu acara tersebut juga dihadiri oleh dinas terkait seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Badan Investasi Daerah.

Dalam pertemuan tersebut disampaikan beberapa hal sebagai berikut :

  1. Perlunya selalu dijalin koordinasi dan komunikasi yang aktif antara pelaku pertambangan dengan dinas terkait sehingga segala permasalahan dilapangan dapat segera diselesaikan.
  2. Semua investor dibidang pertambangan baik batubara maupun mineral diminta konsistensi dan keseriusannya dalam melakukan kegiatan, melaksanakan segala kewajiban serta sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku.
  3. Sesuai dengan program pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam dalam mencanangkan Aceh Green Vision maka segala sektor termasuk pertambangan dalam melakukan kegiatannya haruslah berwawasan lingkungan.
  4. Pertambangan adalah sektor yang sangat dibutuhkan dan dalam pelaksanaannya setiap pelaku pertambangan haruslah menerapkan prinsip-prinsip Good Mining Practice.

Senin, 16 Juni 2008

Investor Pertambangan tak Serius

* Diberi Teguran, Tiga Izin Dicabut


www.serambinews.com, Senin, 16 Jun 2008

BANDA ACEH - Investor pertambangan di Aceh terkesan tak serius. Dari 54 izin yang telah diterbitkan, hanya satu perusahaan yang melaksanakan kegiatannya. Pemerintah Aceh terpaksa memberikan teguran, bahkan tiga izin pertambangan dilaporkan telah dicabut. “Baru satu perusahaan yang melaksanakan kegiatan eksploitasi dan memberi laporan ke kita, itu pun perusahaan kecil,” kata Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Aceh, Ir Sofyan Basri, kepada Serambi belum lama ini. Pihaknya mengaku tengah melakukan inventarisasi dan evaluasi terhadap perusahaan-perusahaan yang telah mengantongi izin kuasa pertambangan (KP). Seluruh perusahaan diwajibkan menyampaikan laporan triwulanan dan selambat-lambatnya enam bulan sejak dikeluarkan izin, harus telah melakukan kegiatan.

“Nah, melihat apakah perusahaan itu melakukan kegiatan atau tidak, indikasinya dari laporan. Kita tidak pernah menerima laporan, berarti mereka tidak pernah melakukan kegiatan,” ucapnya.

Disebutkan, realisasi eksploitasi terhadap izin pertambangan yang telah diterbitkan ini tidak sampai dari 10 persen. Padahal, menurutnya, bila dari 54 izin tersebut hanya 6 yang berjalan, maka hal tersebut sudah cukup bagus.

“Kalau kita melihat di Kalimantan Timur, royalti yang diberikan dari kegiatan pertambangan ini mencapai lebih dari Rp 1 triliun, sedangkan di Aceh, Rp 1 miliar saja nggak sampai,” beber Kadistamben Aceh ini.

Pertambangan, dikatakannya, akan memberikan dampak terhadap perekonomian masyarakat setempat (community development). Selain itu juga akan masuk ke dalam pendapatan ekonomi daerah (PAD) dan akan berimbas pada pertumbuhan ekonomi Aceh. “Kalau ini terhambat terus, bagaimana kita membangun,” tambahnya lagi.

Pertambangan merupakan fokus utama yang menjadi perhatian pihaknya saat ini selain dari masalah listrik. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, juga telah memberi penekanan khusus mengenai hal ini. Bagaimana caranya agar kegiatan pertambangan di Aceh ini dapat terlaksana.

“Saya sudah menyurati perusahaan-perusahaan itu melalui dinas dan instansi terkait di daerah yang tembusannya juga ditujukan ke Pak Gubernur. Malahan bupati ada yang menindaklanjuti dengan mencabut izin pertambangan itu,” ungkap Sofyan.

Cabut izin

Hingga saat ini, kata Sofyan Basri, baru Pemerintah Aceh Jaya yang memberi respons dengan bersikap tegas terhadap investor. Selain mencabut izin tiga perusahaan pertambangan, Pemkab Aceh Jaya juga telah melayangkan surat peringatan terhadap tujuh perusahaan lainnya. “Perusahaan yang dicabut izinnya itu adalah PT Rajawali Sakti Mandiri, PT Sinar Anugerah Pertiwi, dan PT Darwin Indonusa Utama. Sesuai dengan surat Bupati Aceh Jaya Nomor 545/423/208 tertanggal 26 Mei 2008,” sebutnya.

Dirincikan, PT Razawali Sakti Mandiri mendapatkan izin eksplorasi bijih besi di Kecamatan Sampoiniet seluas 3.750 hektare (ha). Sedangkan dua perusahaan lagi mendapatkan izin eksplorasi emas, masing-masing di Sampoiniet dan Krueng Sabe, Kecamatan Jaya, Aceh Jaya.

Selain itu, Bupati Aceh Jaya juga menyurati tujuh perusahaan lain, yaitu PT Era Pet Aron, PT Kana Harapan Jaya, PT Firda Jaya Lestari, PT Pet Aron, PT Beuken Utama, PT Tanoh Diruy Raya, dan terakhir PT Abdya Agung Perkasa. Masing-masing pemegang izin eksplorasi tembaga.

“Mereka ditegur, karena tidak melaksanakan kegiatan dan belum memberikan iuran jaminan kesungguhan. Saya suka bupati yang tegas seperti ini,” ucap Sofyan.

Karena itu, pihaknya mengajak kepada suluruh pimpinan daerah yang lain-lain agar sama-sama membangun Aceh. Bupati/walikota diharapkan tidak hanya sekadar mengeluarkan izin, namun juga melakukan pembinaan dan pengawasan.

Bupati kata dia, berhak untuk melakukan pencabutan izin. Sedangkan pemerintah provinsi hanya memberikan rekomendasi. Begitupun, bila bupati tidak juga melakukan pencabutan izin sementara pembangunan terhambat, maka pencabutan izin akan dilakukan oleh pemerintah provinsi.

“Ujung-ujungnya semua keputusan itu tetap ada pada Gubernur Aceh. Namun, kita memberikan kesempatan lebih dulu kepada pemerintah kabupaten yang telah mengeluarkan izin tersebut,” pungkas Sofyan Basri.
(yos)

Jumat, 13 Juni 2008

35 Izin Pertambangan Mubazir, 50 Izin Sudah Dikeluarkan, Hanya 15 Perusahaan yang Aktif



Kamis, 29 Mei 2008
Banda Aceh | Harian Aceh—Investor pertambangan di Aceh nyatanya masih setengah hati. Sampai kini Pemerintah Aceh telah mengeluarkan izin kepada 50 perusahaan untuk mengeksplorasi sektor pertambangan, namun hanya 15 perusahaan yang aktif. “Mungkin mereka masih melakukan penelitian,” ujar Sofyan Basri.

Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NAD ini di Banda Aceh, Rabu (28/5), membenarkan bahwa 35 perusahaan pertambangan belum aktif padahal mereka sudah mengantungi izin. “Mereka yang setiap tiga bulan sekali melaporkan kegiatannya hanya 15 perusahaan,” katanya.

Perusahaan yang aktif itu, katanya seperti dikutip Antara, bergerak di bidang pertambangan batu bara, biji besi dan emas. Mereka inilah yang hampir setiap tiga bulan sekali memberi laporan hasil penelitiannya.

Sebelumnya, Bisnis Development Analisys Internasional Finansial Coorporation, Luqyan Tamanni, menyebut investor masih enggan masuk ke Aceh karena belum ada jaminan keamanan. Selain itu masih adanya pungutan liar atau pungutan pajak khusus oleh aparat dan mantan kombatan juga menjadi batu sandungan sendiri. Pemerintah disarankan mengambil tindakan khusus menyangkut masalah ini. Padahal, indikator utama investor masih belum berani berinvestasi di Aceh karena masalah keamanan.

“Keamanan sipil dan jalur transportasi akan menjadi perhatian khusus dari investor, termasuk pungutan pajak khusus oleh aparat dan mantan kombatan,” katanya.

Selain masalah keamanan, faktor lain adalah ketidakpastian peraturan daerah di Aceh. Soal biaya transportasi atau pelabuhan yang belum layak, masalah suplai listrik yang belum stabil juga menjadi pertimbangan investasi. Ini disebutnya merupakan kelemahan dibandingkan dengan provinsi lain.

Ia menyebutkan, hanya kesuburan dan ketersedian tanah yang membuat daya tarik di Aceh, untuk itu pemerintah perlu segera melakukan pemetaan dan kepemilikan tanah. Selain itu, pemerintah Aceh harus melakukan tindakan khusus untuk membuat image baik terhadap iklim investasi seperti menandatangani surat keamanan bersama, dan merespons dengan cepat semua keluhan perlakuan ilegal.

Sofyan menjelaskan, setiap perusahaan yang telah mendapat izin, memang tidak langsung melakukan eksplorasi. Secara bertahap mereka melakukan penelitian untuk melihat sejauh mana nilai ekonominya, apakah layak atau tidak. Dan ia merasa optimistis akan ada beberapa perusahaan lagi yang serius untuk melakukan ekplorasi bahan tambang.

Sofyan menngingatkan, potensi sektor pertambangan, mulai dari goloangan-A sampai golongan-C di Aceh cukup besar, namun belum digarap secara maksimal.

Bahan tambang golongan-B, seperti emas terdapat di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Aceh Barat, batu bara di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat dengan potensi 242,6 juta meter persegi.

Kemudian tembaga, biji besi, dan timah hitam yang terdapat di Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Aceh Jaya.

Selanjutnya bahan tambang golongan-C, yang terdapat di Kabupaten Aceh Jaya, seperti fosfat dengan jumlah cadangan 10.000 ton, marmer (33.160.120 ton), dan pasir kuarsa (16.605.000 ton).

Sofyan menyatakan, Aceh membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi investor, tapi yang benar-benar serius membangun ekonomi daerah itu.

Sejumlah kalangan sebelumnya mengingatkan iklim investasi di Aceh masih perlu dibenahi.(rta/mhy)

Selasa, 29 April 2008

Survei investasi, 7 Warga RRC disandera


BANDA ACEH, - Tujuh Warga Negara Republik Rakyat Cina (RRC) dan satu orang Warga Negara Indonesia (WNI), Minggu (27/4) malam, disandera oleh tujuh pria bersenjata laras panjang dan memakai penutup wajah (sebo), di lokasi tambang timah hitam, Desa Pasir Putih, Kecamatan Pining, Gayo Lues. Mereka dilaporkan tengah melakukan survei investasi di lokasi itu.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan Serambi Indonesia, grup Persda Network, Senin (28/4), dari sejumlah sumber, ketujuh WN RRC yang disandera masih muda. (lihat, Mereka Disandera)
Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Pol Jodi Heriyadi yang dihubungi Serambi kemarin, membenarkan peristiwa tersebut. "Tiga orang di antaranya yakni Abdul Karim (WNI), Liang Jian, Peng Ying Xiang, sudah dilepas untuk mencari uang tebusan sebanyak 300 juta," kata Jodi.
Informasi dari Kapolres Gayo Lues, AKBP Drs Armia Fahmi ketiga orang yang sudah dilepas itu saat ini berada dalam pengamanan polisi. Kecamatan Pining berjarak sekitar 45 kilometer dari Blangkejeren. Meski hanya berjarak sekitar 45 km, namun waktu tempuh dengan mobil dari Blangkejeren ke Pining bisa mencapai sekitar dua jam, karena buruknya kondisi jalan. Pining berbatasan langsung dengan Kecamatan Lokop, Aceh Timur.
Kabar tentang penculikan terhadap warga Cina itu juga diungkap oleh Panglima Kodam Iskandar Muda, Mayjen TNI Supiadin AS, kepada wartawan di sela-sela serah terima jabatan (Setijab) Komandan Korem (Danrem) 012/Teuku Umar (TU) di Makorem setempat di Meulaboh, Aceh Barat, Senin (28/4).
Menurut Pangdam, dengan masih adanya kasus penyanderaan seperti ini terlebih menimpa investor yang akan menanamkan modalnya di Aceh membuktikan gangguan keamanan masih terjadi.
Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) Pusat, Ibrahim bin Syamsuddin mengatakan, menilai aksi menunjukkan masih ada kelompok yang berniat mengacaukan Aceh.

Senin, 28 April 2008

UU Migas Memihak Asing


Persoalan minyak dan gas (migas) di Indonesia berpangkal pada kesalahan undang-undang yang amat fatal. Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Migas yang disahkan Pemerintahan Megawati itu meliberalisasi seluruh kegiatan usaha migas, mulai dari sektor hulu hingga sektor hilir. Tak ayal, setelah UU itu disahkan pada 23 Nopember 2001, korporasi asing kian leluasa menguasai bisnis migas. Jika sebelumnya korporasi asing itu sudah menguasai sektor hulu, kini mereka segera merambah sektor hilir.


Negara Sekedar Regulator

Dalam UU Migas ini kekuasaan negara atas migas benar-benar dikebiri. Peran dan kewenangannya dipangkas hanya sebatas sebagai regulator. Secara formal negara memang masih diakui sebagai pihak yang menguasai migas (pasal 4 ayat 1). Akan tetapi, penguasaan itu sekadar menjadikan Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan (pasal 4 ayat 2). Yang dimaksud dengan kuasa pertambangan adalah wewenang yang diberikan negara kepada pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi (Dalam pasal 1 ayat 5). Sebagai pemegang kuasa pertambangan, Pemerintah diberi kewenangan membentuk Badan Pelaksana (Pasal 4 ayat 3).

Kendati disebut sebagai badan pelaksana, fungsi dan tugasnya tidak melaksanakan kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi secara langsung. Badan ini hanya berfungsi melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu (Pasal 44 ayat 2). Di antara tugasnya adalah melaksanakan penandatanganan kontrak kerjasama, memonitor pelaksanaannya, dan menunjuk penjual migas (Pasal 44 ayat 3). Adapun pelaksana langsung kegiatan eksplorasi dan eksploitasi—disebut dengan kegiatan usaha hulu—adalah Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang didasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana (Bab IV, pasal 11, ayat 1).

Ketentuan ini jelas sangat aneh dan tidak masuk akal. Jika negara diakui sebagai pihak yang menguasai migas, mengapa negara tidak diperkenankan melakukan penyelenggaraan eksplorasi dan eksploitasi dan dipaksa harus menyerahkan kepada pihak lain? Memang dalam pasal 9 ayat 1 disebutkan bahwa kegiatan usaha hulu bisa dilakukan BUMN atau BUMD. Akan tetapi, kedua badan usaha itu hanya berkedudukan sebagai pelaku usaha yang diletakkan sejajar dengan swasta, termasuk korporasi asing. Untuk bisa mendapatkan proyek penambangan migas, BUMN atau BUMD itu pun harus bersaing dengan semua perusahaan swasta.

Ketentuan serupa juga berlaku dalam sektor hilir yang meliputi pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga. Kewenangan Pemerintah hanya sebatas membentuk Badan Pengatur yang bertugas melakukan pengaturan dan pengawasan pada kegiatan usaha hilir (Bab I, pasal 1, ayat 24). Sebagaimana dalam sektor hulu, pelaku usaha pada sektor hilir ini juga berupa BUMN, BUMD, koperasi, usaha kecil, dan badan usaha swasta (Bab III, pasal 9, ayat 1). Jelaslah, dalam UU Migas negara hanya diposisikan sebagai regulator yang mengatur lalu lintas jalannya usaha migas.


Berdasarkan Mekanisme Pasar

Di samping mengebiri kepemilikan negara atas migas dan memangkas kewenangannya hanya sebagai regulator, UU Migas juga menjadikan seluruh kegiatan usaha migas, baik sektor hulu maupun hilir, semata berdasarkan pada mekanisme pasar. Realitas ini dapat ditemukan dalam banyak pasal-pasalnya. Dalam pasal 3a dinyatakan, bahwa untuk menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi dilakukan melalui mekanisme yang terbuka dan transparan.

Ungkapan ini jelas menjadikan mekanisme pasar dalam penyelenggaraan kegiatan usaha hulu. Untuk dapat memenangkan tender, semua pelaku usaha diharuskan menempuh mekanisme itu. Ketentuan ini juga berlaku bagi BUMN. Bertolak dari ketentuan ini, tak aneh jika Pertamina dibiarkan oleh Pemerintah bersaing bebas dengan ExxonMobil dalam memperebutkan Blok Cepu.

Mekanisme pasar bebas juga diberlakukan dalam kegiatan usaha hilir. Dalam pasal 3b dinyatakan, bahwa untuk menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan. Ungkapan yang sama kembali ditegaskan dalam pasal 7 ayat 2 yang berbunyi: Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2 diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.

Dengan ketentuan ini, liberalisasi migas merambah hingga ke sektor hilir. Jika sebelumnya hanya Pertamina yang diizinkan menguasai sektor ini, kini terbuka lebar bagi masuknya swasta, termasuk korporasi asing. Memang dalam pasal 9 ayat 2 disebutkan bahwa Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melakukan kegiatan usaha hulu (Pasal 1 ayat 18: Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah NKRI yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia). Akan tetapi, korporasi asing itu bisa saja mendirikan anak perusahan di sini dengan menjadi badan hukum. Kini sudah ada beberapa perusahaan asing yang turut dalam kegiatan usaha hilir, seperti Shell (Belanda) dan Petronas (Malaysia).

Mekanisme pasar juga berlaku dalam penentuan harga migas yang dijual kepada masyarakat. Dalam pasal 28 ayat 2 termaktub: Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Dengan ketentuan ini, Pemerintah tidak lagi berhak mematok harga BBM seperti yang selama ini dilakukan, juga tidak boleh memberi subsidi BBM. Harga harus diserahkan kepada pasar. Memang oleh MK pasal ini telah dibatalkan. Namun, itu menunjukkan bahwa UU Migas dibuat untuk meliberasasi seluruh bisnis migas. Inilah yang dilakukan oleh Pemerintah selama ini. Dengan berbagai alasan, Pemerintah berusaha menghapus subsidi harga BBM di pasaran.


Melempangkan Jalan bagi Asing

Jika dicermati, berbagai ketentuan itu membuka peluang lebar bagi korporasi asing untuk menguasai bisnis minyak di Indonesia. Ketika negara hanya ditempatkan sebagai regulator, sementara semua kegiatan usahanya didasarkan pada mekanisme pasar, maka hampir dipastikan pemenangnya adalah pemilik modal besar, teknologi canggih, dan manajemen bagus. Kriteria itu lebih banyak dimiliki oleh korporasi asing.

Tanpa pemihakan dari negara, tak sulit bagi korporasi-korporasi asing untuk melibas perusahaan-perusahaan domestik. Selama ini, korporasi asing sudah merajai migas di sektor hulu. Chevron Pacific Indonesia (CPI), TOTAL, Exspan, Conocophillips, Petrochina, Vico, ExxonMobil, dan korporasi asing lainnya menguasai sekitar 90% produksi minyak bumi di Indonesia. Adapun Pertamina hanya memproduksi 48.400 barel perhari atau 4,42% dari total produksi 1.094.500 barel perhari. Produksi gas bumi juga tak jauh berbeda. Pertamina hanya menyumbangkan sekitar 12,67% dari total produksi. Perubahan Pertamina menjadi Persero dan kedudukannya tak lebih dari koprorasi asing (pasal 60a dan pasal 61b) diperkirakan akan membuat korporasi asing semakin berjaya.

Kondisinya akan makin parah ketika korporasi asing juga diperkenankan ikut dalam sektor hilir yang selama ini dikuasai Pertamina. Mereka sudah antre untuk mendapatkan izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU). Mereka akan mengusai semua bisnis migas, mulai dari eksplorasi dan eksploitasi hingga menjualnya kepada konsumen. Sebaliknya, perusahaan domestik akan tersingkir, termasuk Pertamina. Apalagi koperasi dan usaha kecil yang juga disebut dalam UU Migas bisa menyelenggarakan bisnis migas. Mereka hanya bisa gigit jari.

Sungguh, tidak dapat diterima nalar sehat; ada sebuah UU yang justru melemahkan kedaulatan negara, membatasi peran pemerintah, dan menyengsarakan rakyatnya sendiri. Lebih tragis, UU Migas ini secara eksplisit lebih berpihak pada kepentingan asing. Dalam Pasal 22 ayat 1 dinyatakan, “Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Ketentuan ini jelas amat membahayakan ketercukupan migas dalam negeri. Bagaimana jika persediaan migas makin menipis sehingga produksinya tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri? Apakah yang diserahkan hanya 25% saja? Bukankah kebutuhan dalam negeri harus lebih dulu tercukupi, sisanya baru diekspor? Pasal ini oleh Mahkamah Konstitusi telah direvisi, namun hanya dengan menghilangkan kata “paling banyak”. Penghilangan itu tetap saja bermasalah. Lalu apa makna kata 25% itu? Tidak jelas!

Pemihakan terhadap asing itu menunjukkan besarnya intervensi asing dalam pembuatan UU Migas itu. Pada tanggal 4 Februari 2000 Dewan Direksi IMF di Washington mengadakan pertemuan untuk menyetujui langkah dan jadwal reformasi “sektor energi” dengan kompensasi bantuan sebesar 260 juta dolar AS dan sebesar lima miliar dolar AS dalam tiga tahun berikutnya akan dikucurkan.

Intervensi asing itu kian jelas jika kita menyimak pernyataan USAID (United States Agency for International Development), ‘’USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform (USAID telah menjadi donor bilateral utama yang bekerja pada reformasi sektor energi).’’ Khusus mengenai penyusunan UU Migas, USAID secara terbuka menyatakan, ‘’The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000‘ (ADB dan USAID telah bekerjasama untuk membuat draf undang-undang gas dan minyak yang baru pada tahun 2000.” (http:www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-009.html).

Selasa, 18 Maret 2008

Investor Asing... Penolong Atau Perampok


JIKA anda adalah penduduk asli Indonesia maka sudah sepatutnya anda dan saya bersyukur dan juga malu. Negara ini dibekali sekian banyaknya kekayaan alam yang melimpah dari ujung Sumatera sampai ujung Papua. Kekayaan yang secara alami tidak dimiliki oleh negara-negara maju di dunia ini. Kekayaan yang sangat memungkinkan Indonesia untuk membiayai dirinya sendiri bahkan membiayai negara-negara miskin di dunia ini. Tapi dengan kekayaan tersebut .
Salah satu kekayaan alam yang ada di Indonesia adalah kekayaan barang tambangnya. Besi, Nikel, tembaga, emas, timah, bahkan bahan-bahan radioaktif ada di bumi Indonesia tercinta ini. Belum lagi kekayaan minyak bumi, gas alam, batubara dsb, sangat-sangat melimpah di Indonesia. Pertanyaan besarnya, siapa yang mengelola barang-barang tersebut. Jawaban atas pertanyaan tersebut sebagian besar merujuk kepada satu jawaban yaitu perusahaan-perusahaan asing (Multi National Company / MNC). MNC-MNC tercinta tersebut menambang ibu pertiwi ini dengan satu tujuan yang pasti, mendapatkan kekayaan alam yang sebesar-besarnya.

Perusahaan-perusahaan raksasa seperti Freeport, INCO, NEWMONT, EXXON dll, memang sepertinya bukanlah tandingan perusahaan Indonesia. Lihat saja bagaimana Freeport membuat belt conveyor (alat pengangkut hasil tambang dari lokasi penambangan) yang mampu menembus gunung sejauh 12 kilometer atau INCO yang mampu melakukan produksi nikel dengan menggunakan listrik sebesar 9,6 Mega Watt yang di mana sumber aliran listrik tersebut mereka produksi sendiri. Peusahaan-perusahaan tersebut memiliki sdm-sdm asing yang pada saat dahulu tidak dimiliki Indonesia, tetapi sekarang orang-orang sekelas McMoran inventor dan pemilik saham terbesar di PT. Freeport - sangat banyak di Indonesia.

Majunya teknologi yang dimiliki oleh perusahaan asing tersebut seharusnya menggelitik kita, orang-orang yang concern terhadap masalah sumber daya manusia. Kapan kita sebagi sebuah negara besar mampu untuk mengelola semua hasil bumi kita, pure, dengan kekuatan kita sendiri. Sepertinya sudah sangat cukup bagi kta untuk mengatakan mereka datang ke sini salah satu tujuannya adalah untuk alih teknologi. Kita mampu Lihat saja bagaimana PT Timah mampu menjadi perushaan timah terbesar di dunia, atau PT Aneka Tambang yang dapat mengolah emas yang dtambang oleh kalangan sendiri.

Masalah pertambangan asing memang banyak hal yang menjadi kontroversi. Mulai dari perubahan bentang alam yang dianggap merusak lingkungan, masalah pendapatan negara, social gap dengan masyarakat sekitar tambang atau bahkan sampai masalah limbah tailing yang dibuang seenak perut dari perusahaan-perusahaan tertentu. Sebenarnya jika kita mau sadari, masalah-masalah tersebut sebenarnya dapat dikurangi dengan akuisisi negara terhadap kawasan tambang tersebut. Sebagai contoh perusahaan Exxon Mobil di Aceh.

Bayangkan jika perusahaan Exxon Mobil di Aceh adalah milik Pemerintah Indonesia. Di sana diperkerjakan masyarakat Aceh sebagai ahli-ahli dalam pengelolaannya. Masyarakat Aceh meningkat kesejahteraannya, hilangnya kecemburuan social antara pusat dan daerah, hilangnya gerakan separatis dari masyarakat, penghasilan negara bertambah dsb. They come to our country just want to dig our gold and leave it after they get everything.

Pengelolaan asing dalam proses produksi pun sebenarnya juga menjadi masalah yang cukup serius. Jika kita lebih jeli dalam pertambangan Indonesia, kita bisa mengetahui bahwa dalam sebuah tambang, misal kita ambil contoh PT. Freeport, hasil produksi dari tambang tersebut bukan hanya tembaga yang di pasaran per ton-nya hanya sekian dolar. Tapi, dalam setiap hari proses produksinya didapatkan juga mineral-mineral lain yang jumlahnya selalu berfluktuasi seperti emas rata-rata 1,2 gram / ton, perak 2,9 gram/ton, seng, nikel, sulfur, selenium, molybdenum, dan thallium yang merupakan mineral radioaktif. Parahnya lagi, semua komposisi tersebut tidak pernah kita ketahui secara pasti (besar/kecil) karena hasil tambang tersebut setelah menjadi bijih tembaga langsung dikapalkan menuju blog produksi selanjutnya.

Jangan heran juga jika kita melihat tidak adanya kepemilikan mereka terhadap ekosistem kita. PT. Newmont Minahasa Raya sebagai contohnya. Mereka membuang limbah tailing setiap harinya ke laut lepas. Dengan teknik sub-sea Tailing Diposal (STD), dalam satu hari MNC tersebut membuang sekitar 1000 ton limbah tailing. Teknik tersebut pada dasarnya menurut teori- aman jika limbah tersebut di buang ke wilayah perairan laut dengan kedalaman tinggi, terutama laut yang berpalung, sehngga material tailing tidak dapat naik ke wilayah perairan bilogis. Tapi, hal yang terjadi, limbah dari PT. Newmont Minahasa Raya tidak dibuang ke wilayah seperti palung, terus bertambah setiap harinya, menggunung dan akhirnya memasuki kawasan laut biologis yang digunakan masyarakat sekitar untuk memenuhi kehidupan.

Memang sepertinya di tanah Indonesia ini sangat sulit menemukan tanah yang gratis bagi para ilmuawan dan tekhnokrat asli Indonesia. Pemerintah Indonesia sangat kurang memperhatikan mutu dan kemajuan dari para pelajar Indonesia. Sangat sedikit dana untuk penelitian dan pengembangan. Jadi wajar saja jika kita melihat gunung Grassberg di Papua yang mengandung bahan-bahan berharga kini sudah menjadi danau. Disetujuinya Earst berg gunung disebelah Grassberg- untuk dipindahkan menuju kapal-kapal pembawa bijih logam berharga yang ditandai dengan kontrak karya selama 30 tahun .

Kebijakan Pemerintah untuk tidak memperpanjang kontrak karya kepada perusahaan-perusahaan asing tersebut mungkin dapat menjadi solusi bagi permasalahan negara. Jangan penah menggap enteng diri kita sendiri dan jangan pernah selalu merasa bahwa bule lebih pintar dari pribumi. Kita mampu kalau tidak dimulai hari ini, kapan lagi anak negeri membanggakan ibu pertiwi.

Rabu, 05 Maret 2008

ACEH INCARAN ASING


Dikutip dari http://www.modusaceh-news.com

"QUA VADIS INVESTASI DIACEH"

Derap pembangunan Tanah Rencong dibawah pimpinan Gubernur Irwandi Yusuf mengalami kemajuan amat pesat. Selain mendapat dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi pasca tsunami yang dikelola BRR, sang Gubernur juga rajin mencari dana lewat kunjungan- kunjungan ke luar negeri. Pasca tsunami diperkirakan sudah 52 triliun rupiah dana bantuan asing yang mengucur untuk pembangunan Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Siapakah tokoh-tokoh asing yang berada di belakang Irwandi Yusuf sehingga memperlancar lobi Internasional. Benarkah mereka ikut menyetir pemerintahan Aceh? Seberapa jauh negaranegara barat mengincar Aceh?

METRO REALITAS.

Segmen Pertama
Peringatan tiga tahun bencana tsunami di bumi Serambi Mekkah dirayakan secara khidmat pada 26 Desember lalu. Meski kenangan pahit akan bencana dahsyat itu masih membekas. namun aceh terus berbenah, pembangunan aceh pasca tsunami tidak lepas dari peran negara-negara donor. Data berbagai pihak menyebutkan, diperkirakan sudah 52 trilyun rupiah bantuan asing mengucur untuk Aceh. Keterlibatan pihak asing di Nanggroe Aceh Darussalam sudah berlangsung sejak paska tsunami terjadi, mereka masuk memanfaatkan status emergency Aceh yang kala itu memang sangat membutuhkan bantuan. Begitu dominannya bantuan asing dalam pembangunan aceh paska tsunami, sampaisampai disinyalir negara-negara donor ikut berperan dalam menentukan arah pembangunan Aceh. Caranya, mereka menempatkan orang-orangnya di berbagai posisi baik pemerintah, swasta atau lembaga swadaya masyarakat yang ada di Aceh. Sumber Metro Realitas mengungkapkan, di lingkungan pemerintahan Irwandy sedikitnya ada empat orang asing sebagai staf ahli atau penasehat khusus yang mendampingi gubernur. Mereka membidangi beberapa masalah seperti pemerintahan, politik, keamanan, HAM serta bidang integrasi. Sebut saja nama Leroy Hollenbeck warga negara Amerika Serikat itu bukan orang baru, sebelum masuk dalam lingkungan Gubernur ia sempat bekerja untuk BRR. Menurut sumber Metro Realitas, Leroy berperan sebagai senior advisor Gubernur Irwandi untuk masalah pemerintahan. Nama lainnya adalah Reenata Korber warga Austria, William Ozkaptan warga Amerika dan Juha Cristensen warga negara Finlandia yang juga bertindak sebagai penasihat Gubernur Irwandi. Yang mengejutkan adalah kehadiran, Damiens Kingsburi. Ia oleh berbagai sumber disebut- sebut sebagai salah satu arsitek lepasnya Timor Leste dari Indonesia, tahun 1999. Warga negara Australia itu mendapat status cekal dari pemerintah Indonesia terkait aktivitas politiknya di Timor Leste, Damiens Kingsburi disebut-sebut menjadi salah satu penasehat politik Irwandi. Sumber Metro Realitas mengungkapkan, pada November 2007, Damiens masuk Aceh melalui jalur laut dari Kuala Lumpur ke Belawan menuju Banda Aceh via darat untuk bertemu dengan Irwandi Yusuf. Karena memasuki Aceh secara ilegal, Damiens Kingsburi dideportasi pihak imigrasi. Selain kehadiran personelnya sebagai staf ahli gubernur Aceh, lembaga pembangunan asal amerika tercatat berkantor di kantor gubernur aceh, USAID menempati ruangan di lantai 3 gedung gubernur Nanggroe Aceh Darussalam. Kesan eksklusif pun sangat jelas terlihat di lingkungan kantor tersebut. Mereka mendapat fasilitas pengamanan super ketat, perlakuan eklusif tersebut, mengundang kritik tajam anggota Dewan Perwakilan Pusat, Nasir Jamil. Nasir juga mengingatkan sesuai undang-undang, gubernur adalah perwakilan pemerintah pusat di daerah yang juga harus menjaga wibawa pemerintah pusat. Lain lagi cerita kantor Europe House yang terletak di jalan Sudirman, Geuce, Banda Aceh. Sumber Metro Realitas di departement luar negeri menduga Europe House bertindak sebagai konsulat tidak resmi dari Uni Eropa yang bertugas memberikan masukan untuk pemerintah aceh dan menggalang lembaga non pemerintah lokal.

Segmen Kedua
Sebuah peristiwa langka luput dari perhatian publik, tanggal 16 Mei 2007 silam. 17 jenderal Amerika Serikat dipimpin petinggi marinir AS, William L Nyland yang berpangkat jenderal bintang empat berkunjung ke Aceh. Selain menyambangi Banda Aceh. Jendral-jendral AS itu mendatangi calang, wilayah

terparah yang terkena tsunami. Sumber Metro Realitas mengungkapkan, kunjungan para jendral amerika itu tidak sekedar meninjau perkembangan proses rehabilitasi Aceh. Amerika Serikat disebut-sebut tertarik

akan potensi aceh, terutama yang berada di kawasan pantai barat Aceh, minat negeri paman sam itu, untuk menggarap pantai barat Aceh sepertinya tidak main – main. Lewat USAID, pemerintah Amerika telah mengucurkan dana 409 juta dollar Amerika, untuk membantu rehabilitasi dan rekontruksi Aceh. Proyek

terbesar USAID di kawasan pantai barat adalah pembangunan jalan Banda Aceh – Calang, sepanjang 115 kilo meter dengan lebar 30 meter. Proyek itu menelan biaya sekitar 108 juta dolar AS atau sekitar 900 millyar rupiah lebih, desain jalan itu disebut-sebut hasil rancangan tentara zeni Amerika Serikat. Masuk akal bila kawasan pantai barat Aceh menarik minat Amerika Serikat dan sejumlah negara asing lainnya mengingat kandungan kekayaan alamnya. Lihat saja data yang di peroleh oleh Metro Realitas menyebutkan

potensi tambang mineral berupa emas, batubara, timah hitam dan beberapa mineral lainnya di kawasan pantai barat aceh lebih kurang sembilan puluh koma dua, persen. Potensi tambang mineral itu tersebar antara lain di kabupaten Nagan Raya sebesar tiga puluh empat persen, Aceh Barat dua puluh dua persen, Aceh Jaya dua belas persen dan daerah lainnya lima belas persen. Belum lagi potensi minyak dan gas di sepanjang cekungan pantai barat Aceh, gempa dahsyat 2004 silam telah mengakibatkan pergeseran pada cekungan sehingga terbuka celah yang mengandung minyak dan gas. Selain sumber daya alamnya, aspek geopolitik Aceh sudah lama jadi target Amerika. Posisi Aceh yang berada di bibir Selat Malaka sangat strategis se-bagai jalur pertahanan dan ekonomi.

Segmen Tiga
Inilah sebagian proses dari MOu yang di tanda tangani oleh gubernur Irwandi Yusuf dengan salah satu investor dari provinsi Jeju Korea Selatan pada Juli 2007 silam . Dalam perjanjian itu disepakati pembangunan rumah sakit dan beberapa pabrik yang berlokasi di Aceh Besar, Sabang, Bener Meriah dan Meulaboh. Selain aktif mengundang investor asing, gubernur Irwandy Yusuf melakukan aksi jemput bola dengan menyambangi beberapa negara. Kunjungannya yang paling anyar adalah Amerika Serikat, pada September 2007 silam. Nampaknya Irwandy, belum puas melihat derap pembangunan di negeri Serambi Mekkah. Tak tangung-tangung, dia pun mengundang sejumlah investor asing kelas kakap, di bidang pertambangan, pertanian, perkebunan dan industri lain. Beberapa diantaranya adalah metro kijang groups dari malaysia yang bergerak di bidang perkebunan sawit dan hotel. Dari Perancis hadir AFD Francis yang akan menangani jasa pelabuhan, kereta api dan bandara. Investor asal Irlandia rencananya akan mengembangkan pelabuhan Sabang, sedangkan investor Jerman berkomitmen untuk mengembangkan industri tekstil dan bateray teknologi tinggi di Aceh Utara. Namun pengembangan industri sawit nampaknya akan menjadi prioritas utama pemerintahan Aceh, tak tanggungtanggung pemerintah Aceh

membentuk badan usaha yang bernama Aceh Plantation Development Authority atau APDA . Rencananya lembaga itu akan mengelola perkebunan sawit seluas kurang lebih 140 ribu hektar di 13 kabupaten, semua

biaya pengembangannya akan ditanggung Islamic Development Bank atau IDB lewat program industri sawit dengan pola perkebunan inti rakyat atau PIR, Pemda Aceh berharap dapat meningkatkan kesejahteraan warga. Sayangnya, untuk mengundang investor asing itu, Irwandi Yusuf harus bolak balik ke

luar negeri yang membutuhkan dana tidak kecil, selama memerintah Aceh, Irwandi tercatat lebih dari lima kali bertandang keluar negeri. Gencarnya frekwensi kunjungan luar negeri gubernur Irwandi menuai kritik.

Nasir Jamil mengingatkan masih banyak kekurangan dan kelemahan infrastruktur serta fasilitas yang ada di Aceh yang dapat mengurangi minat untuk berinvestasi. Lihat saja fasilitas seperti pelabuhan Malahayati

yang terletak di ujung Krueng Raya, Banda Aceh . Sebenarnya letak pelabuhan Malayahati yang berada di teluk, sangat strategis, karena langsung menghadap ke arah Samudra Hindia dan Selat Malaka. Sayangnya, dermaga pelabuhan itu hanya mampu menampung dua kapal ukuran sedang. Tak hanya itu, pasokan listrik untuk Banda Aceh dan sejumlah kota kabupaten lainnya, masih mengandalkan pasokan dari Sumatera Utara. Tanah rencong dengan kekayaan alam yang melimpah ruah, harus menjadi daerah makmur. Siapa pun boleh terlibat dalam proses pembangunanekonomi dan politik di aceh. Namun jangan hanya kepentingan ekonomi dan politik kita harus menggadaikan integritas persatuan dan kesatuan bangsa. Panglima Jenderal Besar Sudirman pernah berkata pertahankan rumah dan pekarangan kita sekalian. Saya Eva Julianty, Team

Metro Realitas, sampai jumpa.***

Shaleh lhokseumawe