Sabtu, 23 Februari 2008

Media Group bangun PLTU 1x15 MW

Dalam waktu dekat ini akan diresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berkapasitas 1x 15 MW. Pembangunan PLTU ini adalah sebagai salah satu wujud nyata dari Media Group dalam rangka untuk membantu pembangunan infrastruktur sebagai bagian dari upaya pemulihan Propinsi NAD dari kehancuran akibat bencana Gempa bumi & Tsunami yang terjadi pada akhir 2004. Sebagai bahan bakunya PLTU tersebut akan menggunakan batubara.

Lokasi PLTU tersebut berada di Desa Kuta Makmue, Kecamatan Kuala, Kabupaten Nagan Raya, Prop.Nanggroe Aceh Darussalam. Diharapkan dengan diresmikannya PLTU ini nantinya bisa mengurangi kekurangan listrik di Nanggroe Aceh Darussalam yang sampai saat ini masih kurang. (mys)

Jumat, 22 Februari 2008

BATUBARA

Batubara adalah batuan yang mudah terbakar yang lebih dari 50% -70% berat volumenya merupakan bahan organik yang merupakan material karbonan termasuk inherent moisture. Bahan organik utamanya yaitu tumbuhan yang dapat berupa jejak kulit pohon, daun, akar, struktur kayu, spora, polen, damar, dan lain-lain. Selanjutnya bahan organik tersebut mengalami berbagai tingkat pembusukan (dekomposisi) sehingga menyebabkan perubahan sifat-sifat fisik maupun kimia baik sebelum ataupun sesudah tertutup oleh endapan lainnya.

Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap yaitu tahap biokimia (penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan).

Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap dimana sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi di daerah rawa dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman 0,5 – 10 meter. Material tumbuhan yang busuk ini melepaskan H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi gambut (Stach, 1982, op cit Susilawati 1992).

Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses biologi, kimia, dan fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang menutupinya, temperatur, tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari gambut (Stach, 1982, op cit Susilawati 1992). Pada tahap ini prosentase karbon akan meningkat, sedangkan prosentase hidrogen dan oksigen akan berkurang (Fischer, 1927, op cit Susilawati 1992). Proses ini akan menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat kematangan material organiknya mulai dari lignit, sub bituminus, bituminus, semi antrasit, antrasit, hingga meta antrasit.

BATUBARA SEBAGAI SEDIMEN ORGANIK


Batubara merupakan sedimen organik, lebih tepatnya merupakan batuan organik, terdiri dari kandungan bermacam-macam pseudomineral. Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan yang membusuk dan terkumpul dalam suatu daerah dengan kondisi banyak air, biasa disebut rawa-rawa. Kondisi tersebut yang menghambat penguraian menyeluruh dari sisa-sisa tumbuhan yang kemudian mengalami proses perubahan menjadi batubara.

Selain tumbuhan yang ditemukan bermacam-macam, tingkat kematangan juga bervariasi, karena dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lokal. Kondisi lokal ini biasanya kandungan oksigen, tingkat keasaman, dan kehadiran mikroba. Pada umumnya sisa-sisa tanaman tersebut dapat berupa pepohonan, ganggang, lumut, bunga, serta tumbuhan yang biasa hidup di rawa-rawa. Ditemukannya jenis flora yang terdapat pada sebuah lapisan batubara tergantung pada kondisi iklim setempat. Dalam suatu cebakan yang sama, sifat-sifat analitik yang ditemukan dapat berbeda, selain karena tumbuhan asalnya yang mungkin berbeda, juga karena banyaknya reaksi kimia yang mempengaruhi kematangan suatu batubara.

Secara umum, setelah sisa tanaman tersebut terkumpul dalam suatu kondisi tertentu yang mendukung (banyak air), pembentukan dari peat (gambut) umumnya terjadi. Dalam hal ini peat tidak dimasukkan sebagai golongan batubara, namun terbentuknya peat merupakan tahap awal dari terbentuknya batubara. Proses pembentukan batubara sendiri secara singkat dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan dari sisa-sisa tumbuhan yang ada, mulai dari pembentukan peat (peatifikasi) kemudian lignit dan menjadi berbagai macam tingkat batubara, disebut juga sebagai proses coalifikasi, yang kemudian berubah menjadi antrasit. Pembentukan batubara ini sangat menentukan kualitas batubara, dimana proses yang berlangsung selain melibatkan metamorfosis dari sisa tumbuhan, juga tergantung pada keadaan pada waktu geologi tersebut dan kondisi lokal seperti iklim dan tekanan. Jadi pembentukan batubara berlangsung dengan penimbunan akumulasi dari sisa tumbuhan yang mengakibatkan perubahan seperti pengayaan unsur karbon, alterasi, pengurangan kandungan air, dalam tahap awal pengaruh dari mikroorganisme juga memegang peranan yang sangat penting.

PENYUSUN BATUBARA

Konsep bahwa batubara berasal dari sisa tumbuhan diperkuat dengan ditemukannya cetakan tumbuhan di dalam lapisan batubara. Dalam penyusunannya batubara diperkaya dengan berbagai macam polimer organik yang berasal dari antara lain karbohidrat, lignin, dll. Namun komposisi dari polimer-polimer ini bervariasi tergantung pada spesies dari tumbuhan penyusunnya.

Lignin

Lignin merupakan suatu unsur yang memegang peranan penting dalam merubah susunan sisa tumbuhan menjadi batubara. Sementara ini susunan molekul umum dari lignin belum diketahui dengan pasti, namun susunannya dapat diketahui dari lignin yang terdapat pada berbagai macam jenis tanaman. Sebagai contoh lignin yang terdapat pada rumput mempunyai susunan p-koumaril alkohol yang kompleks. Pada umumnya lignin merupakan polimer dari satu atau beberapa jenis alkohol.

Hingga saat ini, sangat sedikit bukti kuat yang mendukung teori bahwa lignin merupakan unsur organik utama yang menyusun batubara.

Karbohidrat

Gula atau monosakarida merupakan alkohol polihirik yang mengandung antara lima sampai delapan atom karbon. Pada umumnya gula muncul sebagai kombinasi antara gugus karbonil dengan hidroksil yang membentuk siklus hemiketal. Bentuk lainnya mucul sebagai disakarida, trisakarida, ataupun polisakarida. Jenis polisakarida inilah yang umumnya menyusun batubara, karena dalam tumbuhan jenis inilah yang paling banyak mengandung polisakarida (khususnya selulosa) yang kemudian terurai dan membentuk batubara.

Protein

Protein merupakan bahan organik yang mengandung nitrogen yang selalu hadir sebagai protoplasma dalam sel mahluk hidup. Struktur dari protein pada umumnya adalah rantai asam amino yang dihubungkan oleh rantai amida. Protein pada tumbuhan umunya muncul sebagai steroid, lilin.

Material Organik Lain

Resin

Resin merupakan material yang muncul apabila tumbuhan mengalami luka pada batangnya.

Tanin

Tanin umumnya banyak ditemukan pada tumbuhan, khususnya pada bagian batangnya.

Alkaloida

Alkaloida merupakan komponen organik penting terakhir yang menyusun batubara. Alkaloida sendiri terdiri dari molekul nitrogen dasar yang muncul dalam bentuk rantai.

Porphirin

Porphirin merupakan komponen nitrogen yang berdasar atas sistem pyrrole. Porphirin biasanya terdiri atas suatu struktur siklik yang terdiri atas empat cincin pyrolle yang tergabung dengan jembatan methin. Kandungan unsur porphirin dalam batubara ini telah diajukan sebagai marker yang sangat penting untuk mendeterminasi perkembangan dari proses coalifikasi.

Hidrokarbon

Unsur ini terdiri atas bisiklik alkali, hidrokarbon terpentin, dan pigmen kartenoid. Sebagai tambahan, munculnya turunan picene yang mirip dengan sistem aromatik polinuklir dalam ekstrak batubara dijadikan tanda inklusi material sterane-type dalam pembentukan batubara. Ini menandakan bahwa struktur rangka tetap utuh selama proses pematangan, dan tidak adanya perubahan serta penambahan struktur rangka yang baru.

Konstituen Tumbuhan yang Inorganik (Mineral)

Selain material organik yang telah dibahas diatas, juga ditemukan adanya material inorganik yang menyusun batubara. Secara umum mineral ini dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu unsur mineral inheren dan unsur mineral eksternal. Unsur mineral inheren adalah material inorganik yang berasal dari tumbuhan yang menyusun bahan organik yang terdapat dalam lapisan batubara. Sedangkan unsur mineral eksternal merupakan unsur yang dibawa dari luar kedalam lapisan batubara, pada umumya jenis inilah yang menyusun bagian inorganik dalam sebuah lapisan batubara.

PROSES PEMBENTUKAN BATUBARA

Pembentukan batubara pada umumnya dijelaskan dengan asumsi bahwa material tanaman terkumpul dalam suatu periode waktu yang lama, mengalami peluruhan sebagian kemudian hasilnya teralterasi oleh berbagai macam proses kimia dan fisika. Selain itu juga, dinyatakan bahwa proses pembentukan batubara harus ditandai dengan terbentuknya peat.

Pembentukan Lapisan Source

Teori Rawa Peat (Gambut) - Autocthon

Teori ini menjelaskan bahwa pembentukan batubara berasal dari akumulasi sisa-sisa tanaman yang kemudian tertutup oleh sedimen diatasnya dalam suatu area yang sama. Dan dalam pembentukannya harus mempunyai waktu geologi yang cukup, yang kemudian teralterasi menjadi tahapan batubara yang dimulai dengan terbentuknya peat yang kemudian berlanjut dengan berbagai macam kualitas antrasit. Kelemahan dari teori ini adalah tidak mengakomodasi adanya transportasi yang bisa menyebabkan banyaknya kandungan mineral dalam batubara.

Teori Transportasi - Allotocton

Teori ini mengungkapkan bahwa pembentukan batubara bukan berasal dari degradasi/peluruhan sisa-sisa tanaman yang insitu dalam sebuah lingkungan rawa peat, melainkan akumulasi dari transportasi material yang terkumpul didalam lingkungan aqueous seperti danau, laut, delta, hutan bakau. Teori ini menjelaskan bahwa terjadi proses yang berbeda untuk setiap jenis batubara yang berbeda pula.

Proses Geokimia dan Metamorfosis

Setelah terbentuknya lapisan source, maka berlangsunglah berbagai macam proses. Proses pertama adalah diagenesis, berlangsung pada kondisi temperatur dan tekanan yang normal dan juga melibatkan proses biokimia. Hasilnya adalah proses pembentukan batubara akan terjadi, dan bahkan akan terbentuk dalam lapisan itu sendiri. Hasil dari proses awal ini adalah peat, atau material lignit yang lunak. Dalam tahap ini proses biokimia mendominasi, yang mengakibatkan kurangnya kandungan oksigen. Setelah tahap biokimia ini selesai maka berikutnya prosesnya didominasi oleh proses fisik dan kimia yang ditentukan oleh kondisi temperatur dan tekanan. Temperatur dan tekanan berperan penting karena kenaikan temperatur akan mempercepat proses reaksi, dan tekanan memungkinkan reaksi terjadi dan menghasilkan unsur-unsur gas. Proses metamorfisme (temperatur dan tekanan) ini terjadi karena penimbunan material pada suatu kedalaman tertentu atau karena pergerakan bumi secara terus-menerus didalam waktu dalam skala waktu geologi.

HETEROATOM DALAM BATUBARA

Heteroatom dalam batubara bisa berasal dari dalam (sisa-sisa tumbuhan) dan berasal dari luar yang masuk selama terjadinya proses pematangan.

Nitrogen pada batubara pada umumnya ditemukan dengan kisaran 0,5 – 1,5 % w/w yang kemungkinan berasal dari cairan yang terbentuk selama proses pembentukan batubara.

Oksigen pada batubara dengan kandungan 20 – 30 % w/w terdapat pada lignit atau 1,5 - 2,5 % w/w untuk antrasit, berasal dari bermacam-macam material penyusun tumbuhan yang terakumulasi ataupun berasal dari inklusi oksigen yang terjadi pada saat kontak lapisan source dengan oksigen di udara terbuka atau air pada saat terjadinya sedimentasi.

Variasi kandungan sulfur pada batubara berkisar antara 0,5 – 5 % w/w yang muncul dalam bentuk sulfur organik dan sulfur inorganik yang umumnya muncul dalam bentuk pirit. Sumber sulfur dalam batubara berasal dari berbagai sumber. Pada batubara dengan kandungan sulfur rendah, sulfurnya berasal material tumbuhan penyusun batubara. Sedangkan untuk batubara dengan kandungan sulfur menengah-tinggi, sulfurnya berasal dari air laut.

Kamis, 21 Februari 2008

Mengapa Pertambangan

MENGAPA PERTAMBANGAN ?

Pengantar

Sebelum membaca tulisan ini, pejamkan mata sesaat dan bayangkan hidup tanpa listrik: aktivitas manusia tentunya sangat terganggu. Kemacetan dijalan, transaksi perbankan berhenti, kegiatan rumah-tangga terganggu, dan lain sebagainya. Prinsipnya hampir semua aktivitas terganggu andai tiada listrik. Black-out di California tahun 2001 sangat tepat menggambarkan hal ini dengan kerugian ditaksir jutaan dollar. Didalam negeri, pemadaman listrik bergilir beberapa waktu lalu diberbagai wilayah Jawa akibat terganggunya pasokan batubara pembangkit listrik Suralaya, merupakan contoh serupa. Lalu, darimana kebutuhan listrik dipasok ? Hampir 65% (tahun 2003) kebutuhan listrik dunia dipasok dari produk industri pertambangan: minyak, gas dan batubara. Untuk dalam negeri rasio ini menjadi sekitar 80% (tahun 2001).

Apa itu industri pertambangan ? Pertambangan adalah industri yang mengolah sumberdaya alam dengan mengambil dan memproses bahan tambang untuk menghasilkan berbagai produk akhir yang dibutuhkan umat manusia. Bahan tambang digolongkan menjadi tiga: logam seperti emas, tembaga, timah; mineral industri seperti granit, andesit, pasir; dan mineral energi seperti batubara, minyak dan gas. Produk industri ini menjadi input utama berbagai industri hilir. Sadar atau tidak segala disekiling kita terkait dengan produk tambang, mulai dari kebutuhan primer seperti rumah dan energi hingga kebutuhan sekunder, mobil dan peralatan elektronik. Mengingat peranannya yang penting, selayaknya pertambangan mendapatkan perhatian.

Namun sejak beberapa tahun industri ini mendapat sorotan dari beberapa kelompok masyarakat. Berbagai isu diangkat dengan menyoroti konstribusinya terhadap Pendapatan Domestik Bruto yang kecil dan tidak sebanding dengan dampak negatif yang ditimbulkan. Berbagai isu tersebut diangkat dan dieksploitasi oleh LSM dan kelompok masyarakat tertentu untuk mendiskreditkan citra industri pertambangan dengan tujuan akhir menghentikan kegiatan pertambangan, sementara atau permanen, di Indonesia. Tulisan ini bertujuan menjelaskan mengapa suatu negara memerlukan industri pertambangan dengan harapan memberikan pemahaman lebih baik terhadap industri ini.

Mengapa pertambangan ?

Worldbank (2002) menyimpulkan 56 negara merupakan mining countries dan sebanyak 3.9 milyar manusia terlibat didalam aktivitasnya. Dinegara tersebut pertambangan merupakan salah satu aktivitas ekonomi penting, bahkan sekitar 20 negara ekspor produk tambang berkonstribusi lebih dari 50% nilai total ekspor. Lalu mengapa pertambangan dibutuhkan ? Paling tidak ada tiga alasan mengapa suatu negara mempunyai industri pertambangan. Dua pertimbangan, ekonomi dan geopolitik, diterapkan untuk menjustifikasi keberaadaan industri pertambangan.

Alasan pertama adalah untuk menjamin keamanan pasokan (security of supply) dan keamanan domestik (national security). Ketergantungan suatu negara atas impor produk tambang menjadikan keberlangsungan industri hilirnya rentan untuk terganggu dan berpotensi melemahkan posisi tawar negara tersebut. Untuk menjaga terjamin proses industri hilir dengan menjaga pasokan inputnya berupa produk tambang, beberapa negara mengurangi rasio ketergantungan atas impor dengan membuka atau mempertahankan industri pertambangan dalam negeri, bahkan terkadang dengan biaya tinggi. Pertambangan batubara di Jerman, misalnya, tetap dipertahankan dengan subsidi sangat besar akibat biaya operasinya tidak lagi menutup keuntungan. Afrika Selatan bahkan beberapa kali mendevaluasi mata-uang (Rand) saat harga bahan tambang rendah untuk menjaga agar industri pertambangan dapat bertahan dengan membuat produk tambangnya tetap kompetitif.

Dilain pihak dengan pertimbangan keamanan domestik, Amerika melindungi pertambangan batubara dan minyaknya meski mendapatkan tekanan dari negara lain akibat walk-out dikonferensi untuk meratifikasi protokol Kyoto. Dengan alasan yang sama, dengan dasar Strategic and Materials Stockpilling Act 1946, Amerika selain melakukan strategi penambangan di domestik juga melakukan strategi pencadangan (security of stock) beberapa mineral penting sebesar 6 hingga 12 bulan tingkat konsumsi domestik.

Alasan kedua adalah untuk sumber pendapatan negara. Beberapa negara membuka industri pertambangan dalam upaya membiayai kegiatan pembangunan dengan memanfaatkan pendapatan dari ekspor bahan tambang (foreign-exchange earning policy) dan/atau pajak pertambangan (fiscal income policy). Kajian Eggert Roderic (2001) menunjukan ada 34 negara, terutama negara berkembang dan transisi, yang mempunyai tingkat nilai ekpor bahan tambang mencapai 25% atau lebih dari total nilai ekspor negara tersebut. Bahkan karena tidak mempunyai kekayaan alam lain yang potential, Nigeria, Algeria atau Saudi Arabia sekitar 90% pendapatannya berasal dari ekspor minyak. Hal yang sama Zambia dan Nigeria dimana sekitar 70% pendapatannya ditopang oleh ekspor logam.

Dengan adanya industri pertambangan, negara memperoleh manfaat berupa rente ekonomi dari pajak yang dibayar perusahaan atas dieksploitasinya bahan tambangnya. Tergantung dari intensitas strategi pajak yang diterapkan, namun negara seperti Indonesia, Mexico dan Papua New Guinea mempunyai tingkat pajak efektif (effective tax rate) sekitar 60% untuk industri pertambangan emas. Hasil dari pajak ini yang kemudian dimanfaatkan untuk melakukan pembangunan.

Alasan ketiga adalah untuk peningkatan tingkat kualitas hidup manusia. Chile berhasil meningkatkan kualitas hidup penduduk, dimana saat ini digolongkan sebagai salah satu negara yang mempunyai Index Pembangunan Manusia tinggi (Human Develoment Index,UNDP,2001), dalam waktu singkat setelah berhasil melakukan reformasi industri pertambangannya dalam empat program: reform of legal and fiscal of mining regulation, reform of public mining institution, encouraging medium and small scale mines dan environmental concern. Contoh lain, diawal dekade 80, tambang bijih besi Carajas dibuka dengan biaya investasi terbesar dalam sejarah pertambangan dunia (3500 juta dollar), dimana sebagai besar investasi digunakan untuk membangun rel kereta api sepanjang 900 km membelah pedalaman hutan Amazon, Brazil. Pemerintah Brazil kala itu menjadikan dirinya sebagai jaminan agar dapat mendapatkan pinjaman modal untuk membuka tambang. Kini, selain mendapatkan keuntungan dari rente ekonomi pertambangan tersebut, demikian pula mendapatkan manfaat besar berupa peningkatan kualitas hidup masyarakat pedalaman Amazon akibat terbukanya isolasi tersebut.

Penutup

Penjelasan diatas memberikan gambaran manfaat positif industri pertambangan, namun industri ini, seperti juga industri lain, berpotensi menimbulkan dampak negatif, seperti pelanggaran ham, pengingkaran keberadaan tanah adat/ulayat, pencemaran lingkungan dan kerusakan hutan. Karena itu dieksploitasinya kekayaan mineral tentu saja bukan syarat cukup bahkan mungkin bukan pula syarat utama untuk berhasilnya pembangunan suatu bangsa. Fakta memperlihatkan tidak sedikit negara yang mengeksploitasi kekayaan mineral memberikan dampak negatif dengan menyebabkan menurunnya pertumbuhan ekonomi negara dibandingkan sebelum bahan tambang dieksploitasi. Seperti yang dialami Belanda misalnya di dekade 70-an saat mengekploitasi potensi migas di Laut Utara, yang kemudian dikenal sebagai fenomena Dutch Desease, ataupun Zambia dimana adanya pertambangan tembaga telah memicu konflik domestik dan keuntungan pertambangan ini digunakan untuk perperangan.

Walau demikian industri ini tetap berpotensi memainkan peran penting dalam meningkatkan kemakmuran suatu bangsa. Peran industri ini tidak semata dipandang dari aspek ekonomi namun aspek geopolitik harus pula menjadi bahan pertimbangan. Oleh karena itu upaya kelompok tertentu untuk menghentikan pertambangan di Indonesia dengan pertimbangan konstribusi terhadap PDB yang kecil bukankah suatu solusi yang tepat secara perspektif jangka panjang. Aspek geopolitik seperti keamanan pasokan (security of supply) dan keamanan domestik (national securit) perlu pula mendapat perhatian. Disamping itu kerjasama yang erat seluruh stakeholder pertambangan Indonesia lebih dibutuhkan agar kekayaaan bahan tambang yang dimiliki bangsa ini dapat dimanfaatkan dan dikelola secara lebih baik dan bijaksana serta dapat menjadi modal untuk meningkatkan kualitas bangsa Indonesia.