Sabtu, 30 Agustus 2008

Dipatok Lokasi Tambang Timah di Agara

Kutacane - Batas pertambangan timah hitam di Desa Jambur Lak-lak Kecamatan Ketambe Aceh Tenggara (Agara) mulai dipatok. Pematokan untuk tidak melewati batas-batas wilayah hutan lindung maupun Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). “Dalam penentuan batas ini, kita melibatkan tim terpadu dari dinas kehuatanan maupun perindustrian dan perdagangan Agara,” sebut Direktur Utama PT Pasifik Lautan Berlian Syaharudin Sembiring melalui Kepala Bagian personalian Arafik Beruh selaku pengembang, Sabtu (5/7). Arafik menyebutkan, pematokan lokasi oleh tim terpadu berjumlah 14 orang dengan membawa fasilitas peta maupun alat-alat khusus. Dari hasil rangkaian pematokan batas itu, luas areal yang akan dijadikan sebagai lokasi pertambangan tersebut, diperkirakan mencapai 400 hektar. “Yang letak lokasinya dari jalan raya Kutacane-Blangkejeren, di Desa Jambur Lak-lak itu, sekitar 4 kilometer,” jelas Arafik.Dia mengimbuhkan dengan dibuka pertambangan timah ini diharapkan dan diutamakan tenaga kerja diambil dari putra-putri Agara. Sehingga, pemberdayaan perekonomian terhadap masyarakat lokal bisa bertambah meningkat. “Kecuali itu, pendapatan asli daerah juga bisa bertambah sumbernya dari pertambangan ini,” demikian kata Arafik.

Hydro Seeding Untuk Reklamasi Sementara

Jakarta-TAMBANG- Beberapa perusahaan tambang belum memperhatikan program reklamasi dan revegetasi di areal tambang. Kebanyakan perusahaan tambang yang belum memperhatikan program tersebut adalalah perusahaan kelas menengah dan kecil. Demikian diungkapkan Direktur Tehnik dan Lingkungan, Direktorat Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Departemen ESDM kepada majalah Tambang kemarin (Rabu, 27 Agustus 2008).Persoalan ini, menurut Marpaung ,menjadi concern utamanya setelah diangkat menjadi Direktur Lingkaungan beberapa waktu lalu. Memang diakuinya dibeberapa tambang, masih ada yang sedikit mengabaikan aspek reklamasi dan revegetasi tersebut. Karena itu, mantan Direktur Pengusahaan ini, akan melakukan langkah-langkah konkrit, menyelesaikan hal tersebut.Beberapa perusahaan tersebut, ujarnya lagi beralasan bahwa, mereka masih menunggu sekitar 6 hingga 9 bulan lagi untuk melakukan kegitan reklamasi secara utuh, namun menurutnya, jika hal tersebut dilakukan sejak sekarang, akan lebih baik, menghindari stigma yang selama ini berkembang bahwa Tambang identik dengan kerusakan lingkungan.“Paling tidak, ada konsep penanaman sementara, baik biji-bijian, kacang-kacangan, tanaman merambat dan sebagainya. Sehingga paling tidak, tanaman sementara tersebut, dapat menahan laju erosi dan kalaupun mati, bias dijadikan humus,” jelasnya.Salah satu metode penanaman sementara menurut Marpaung, yaitu dengan menggunakan hydro seeding. Dalam penjelasannya, mesin Hydro Seeding tersebut, bias menggunakan dua pola, yaitu Heavy duti untuk perusahaan besar dengan luas lahan yang besar atau bagi perusahaan menengah dan kecil menggunakan portable mesin.Cara kerja hydro seeding berjenis portable ini, menggunakan mobil atau truk, dengan tangki air dan alat penyemprotnya. Dalam tangki tersebut diberikan media cair, sejenis jeli, yang sudah dimasukan berbagai jenis biji-bijian. Setelah tercampur media dan bibit tumbuhan kemudian disiram di tanah atau batu, sehingga dalam beberapa hari mulai tumbuh. Bahkan ini juga katanya, bisala dilakukan di dinding-dinding bekas galian tambang. Ini dilakukan, untuk mengeliminir kesan yang ada bahwa disetiap lahan tambang, tanahnya pasti kerontang. Karena itu, sebagai Direktur Tehnik dan Lingkungan, ia menghimbau kepada semua perusahaan tambang, harus memiliki nursery. Namun lebih jauh ia mengatakan, jenis pohon dan tanaman pun, harus unggulan dan memiliki kearifan lokal. “Jangan hanya sekedar menggugurkan kewajiban trus pohonnnya asal-asalan, harus yang benar-benar unggul. Kemudian juga dengan jenis pohon yang sudah akrab dengan kondisi alam di daerah tersebut,” katanya.Untuk jenis tanaman unggulan dan varietas pohon yang akan ditanam, ia mengusulkan kepada perusahaan tambang untuk bekerjasama dengan universitas-universitas setempat yang memiliki program studi kehutanan.Ini semua dilakukan, ujarnya lagi sebagai bentuk tanggungjawab sektor pertambangan terhadap lingkungan. Komitmen ini, harusnya, tidak saja oleh perusahaan-perusahaan besar, tetapi juga dilakukan oleh perusahaan tambang skala medium atau kecil. Lebih jauh ia mengatakan, saat penyelenggaraan konferensi dunia untuk perubahan iklim di Bali, Desember 2007 lalu, telah ditandatangni kespakatan green mining oleh kementrian ESDM dan Kehutanan. IA mengaku belum mengetahui persis apa saja kegiatan yang dilakukan, tetapi paling tidak, green mining, harus menjadi concern kita semua.“Saya akan mendatangi pak Jeffery (Jeffrey Mulyono, deklataror Green Mining-red), untuk mengetahui kegiatan yang sudah dilakukan, dan penjajakan kemungkinan kegiatan yang bia dilakukan bersama, dalam rangka green mining tersebut,’ urainya, []

Senin, 18 Agustus 2008

Lingkungan Hidup dan Dunia Pertambangan

Badai moneter yang menghantam di pertengahan 1997 memaksa ambruknya system ekonomi Indonesia yang terpusat pada orientasi pasar. Kegagalan pasar yang mengangkat derajat kemiskinan -ditandai tingginya pengangguran akibat PHK- dan menurunkan daya beli dan kesejahteraan masyarakat. Tercatat bahwa saat itu, tingkat kemiskinan mencapai 85%. Harapan untuk keluar dari terpaan krisis ini memerlukan strategi dan regulasi pemerintah yang menyangkut perencanaan holistik multi sektor.

Meksipun krisis moneter yang berkepanjangan ini, namun industri pertambangan adalah salah satu dari sedikit industri yag mampu survive dan tetap dapat menyumbangkan pemasukan GDP. Dan dengan lebih dari setengah juta jiwa yang bekerja secara formal pada industri ini, termasuk dua juta jiwa yang yang bekerja secara tak langsung, mining corporate industry menyokong keberadaan perusahaan kontraktor dan konsultan.

Salah satu multiplier effect dari hadirnya industri pertambangan yang hampir selalu berawal dari daerah terpencil adalah perannya sebagai penggerak mula (prime mover) pembangunan daerah. Sebutkanlah Sawahlunto yang hidup dari industri batubara, Pomalaa di Sulawesi Tenggara, Cikotok, Balikpapan dan Kutai di Kalimantan Timur dan bahkan Jayapura di Papua. Industri pertambanganlah yang menjadi punggung perekonomian daerah saat itu.

KONDISI PERTAMBANGAN SAAT INI
Investasi Beberapa tahun belakangan, industri pertambangan nyata-nyata menghadapi uncertainty investment climate, mulai dari goncangan anti pertambangan yang makin besar, munculnya UU No. 41/1999 yang sangat sektoral hingga gelombang Trans National Corporate dengan kepentingan isu yang berbeda-beda.

Ada image bahwa pertambangan adalah trouble maker environment and deforestation atau tambang si perusak lingkungan sehingga lebih bak moratorium dan tutup saja semua perusahaan ekstraktif tersebut.

Tidak ada yang salah mutlak dalam pelemparan argument tersebut. Tidak perlu ditolak pula bahwa tambang itu merusak lingkungan. Hanya perlu sedikit pemilahan bahwa berbagai argumen yang dilontarkan dapat dikelompokkan menjadi dua: yang paham dan yang tidak paham tentang pertambangan. Argumen yang dilemparkan oleh pihak yang tidak paham –dan kuantitasnya sangat besar- telah menimbulkan persepsi negatif industri pertambangan dan menyesatkan publik dengan mengeluarkan berbagai statement yang keliru.

Perspektif yang keliru ini yang perlu diluruskan agar terjadi sinkronisasi antara usaha pertambangan dengan persepsi public. Perspektif itu diantaranya:

1. Kekeliruan pertama muncul ketika seluruh kegiatan pertambangan menghancurkan fungsi hutan karena membuka lahan secara ekstensif.

Ini merupakan pendapat yang tidak beralasan dan buta total dan menutupi karakteristik pertambangan yang sebenarnya, karena pendapat ini tidak pernah memikirkan bahwa ada beberapa tahapan berbeda dalam usaha pertambangan. Pertambangan sendiri merupakan rangkaian empat kegiatan utama eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, serta reklamasi.

Eksplorasi merupakan tahapan dimana dilakukan penyelidikan untuk menetapkan keberadaan, karakteristik, kuantitas dan kualitas bahan tambang. Eksplorasi ini merupakan tahapan pertama yang memerluan waktu dua hingga lima tahun dan berisiko tinggi. Perusahaan bisa saja menghentikan kegiatan atau suspended karena tidak mendapatkan cadangan mineral yangn ekonomis meski telah menghabiskan jutaan dolar seperti yang dialami Pacific Nickel di P. Gag yang telah mengeluarkan biaya US$ 60 juta untuk eksplrasi namun tidak berhasil menemukan deposit ekonomis.

Untuk memfasilitasi tahapan eksplorasi ini, pemerintah mengizinkan perusahaan memiliki daerah Kuasa Pertambangan seluas maksimum 25.000 ha (PP 32/1969 tentang Pelaksanaan UU Pokok Pertambangan 11/1967). Namun tidak seluruh lahan ini akan digunakan oleh perusahaan, karena mineral umumnya hanya terdapat di beberapa titik anomaly. Sebagian besar lahan harus dikembalikan kepada negara melalui proses reliquishment. Selain karena akan membebani dari sisi pajak, lahan ini juga tidak ekonomis untuk diusahakan.

Eksplorasi juga tidak akan menggunakaan keseluruhan luasan lahan karena lahan yang diperlukan hanyalah sebatas kebutuhan titik eksplorasi, akses masuk alat bor. Bahkan dengan teknologi canggih seperti seismic dan geophysics, mampu mengurngai jumlah titik bukaan secara signifikan, karena dapat mendeteksi keberadaaan endapan bahan tambang tanpa harus membuka lahan.

Dan pada tahapan eksploitasi, jika perusahaan hanya memiliki izin pengelolaan lahan 25%, tidak seluruh lahan tersebut akan dieksploitasi langsung. Dan rasanya sudah banyak laporan yang menyatakan bahwa seluruh kegiatan eksploitasi pertambangan berizin di Indonesia hanya membuka lahan 135.000 ha atau 0,1% luas seluruh wilayah hutan Indonesia.

2. Perspektif keliru yang kedua adalah tentang pemilihan metode penambangan, muncul anggapan bahwa kepentingan finansial lebih mendasari pemilihan metode open pit (tambang terbuka) dibanding underground.

Perlu diketahui bahwa ada banyak criteria prinsip pemilihan metode penambangan. Tambang terbuka diterapkan untuk menambang cadangan yang letaknya dekat permukaan dengan terlebih dahulu membersihkan lahan dan batuan pengotor. Tambang terbuka ini memiliki produktivitas tinggi, cost operasi yang rendah dan keselamatan yang lebih terjamin.

Sedang tambang dalam (underground) hanya diterapkan untuk mendapatkan cadangan yang berada relatif jauh di bawah permukaan dengan hanya membuka sebagian kecil lahan di permukaan sebagai akses peralatan dan fasilitas pengolahan. Jadi proses pengambilan mineral dilakukan tanpa menggangu aktivitas permukaan. Namun perlu diketahui bahwa tambang ini rentan akan keselamatan kerja. Kita bisa banyak belajar dari China yang kehilangan lebih dari 5.500 pekerjanya tahun lalu akibat ambruknya tambang batubara bawah tanah mereka.

Tidak ada satu manusia pun yang mampu memaksa bahwa endapan mineral itu berada dekat di bawah permukaan atau jauh di dalam. Semua sifatnya alamiah (given by God) dan merupakan kekhasan sifat bahan galian. Jangan memaksa untuk melakukan eksploitasi tambang dalam jika kerentanan keselamatan kerja masih belum teratasi.

3. Perspektif keliru yang ketiga adalah pernyataan semua kegiatan pertambangan merusak lingkungan.

Pernyataan menyesatkan ini rasanya hampir selalu dilontarkan oleh pecinta lingkungan dan kaum conservationist. Rasanya bisa dimaklumi jika mereka yang mengatakan hal itu, dan juga rasanya kesalahan dari industri tambang juga yang rasanya kurang memeluk pemerhati lingkungan dan conservationist.

Anggapan ini tidak berdasar karena mengeneralisasi bahwa seluruh usaha pertambangan sifatnya destruktif tanpa melihat bahwa diwajibkannya reklamasi pada lahan eks tambang. Bahkan pada tahapan pengakhiran tambang (mining closure) juga diwajibkan memperbaiki lahan bukaan. Ada beberapa contoh perusahaan yang berhasil menjalankan hal in seperti Kelian Eguatorial Mining di Kalimantan Timur.

Selain diterapkannya Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di tahapan kelayakkan studi, pada kegiatan pertambangan juga diterapkan best mining practice (not only good) sebagai upaya minimalisasi dampak lingkungan yang terjadi.

Jadi rasanya lengkap kekeliruan persepsi terhadap pertambangan yang sudah bisa diluruskan kembali. Sebuah dialektika pertambangan antara pemanfaatan dengan resiko yang mesti dibayar adalah sebuah penghargaan terhadap perbedaan persepsi. Bukan suatu hal yang perlu dibantah, melainkan sebagai proses pembelajaran pola berpikir. Tidak ada kebenaran sejati, yang mutlak hanya dari Allah SWT.

Minggu, 17 Agustus 2008

GREEN MINING


GREEN MINING

Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development WCED) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang bertujuan memenuhi kebutuhan sekarang dengan mengkompromikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Pembangunan ini menuntut masyarakat agar memenuhi kebutuhan manusia dengan meningkatkan potensi produktif melalui cara-cara yang ramah lingkungan maupun dengan menjamin tersedianya peluang yang adil bagi semua pihak (WCED, 1997). Untuk itu diperlukan pengaturan agar lingkungan tetap mampu mendukung kegiatan pembangunan dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia.
Paradigma sustainable development juga menunjukkan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan mengacu pada keseimbangan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan serentak dan bersamaan. Kebijakan janganlah semata-mata meletakkan basis SDA sebagai andalan ekonomi atau akumulasi modal, tanpa mempertimbangkan faktor lingkungan dan masyarakat yang ada di sekitarnya. Sebaliknya sebuah kebijakan juga tidak dapat semata-mata didasarkan pada isolasi kawasan yang bebas dari intervensi manusia termasuk intervensi ekonomi (eco-totalism).
Pertambangan adalah usaha mengelola sumberdaya alam yang tidak terbaharui dengan mengambil mineral berharga dari dalam bumi. Karena sifat alamiahnya yang merubah bentang alam dan ekosistem, pertambangan memang memiliki potensi untuk merusak lingkungan. Namun dewasa ini, paradigma pertambangan sudah mulai bergeser dari pilar keuntungan ekonomi menjadi tiga pilar, orientasi ekonomi, kesejahteraan sosial dan perlindungan lingkungan.
Berlanjutnya sistem ekologi di sekitar wilayah pertambangan sangat berkaitan pula dengan daya dukung wilayah tersebut. Hal ini disebabkan karena sumberdaya pada suatu daerah yang telah terganggu oleh aktivitas penambangan memiliki batas kemampuan untuk menghadapi perubahan, mendukung sistem kehidupan, serta menyerap limbah.
Meskipun begitu, potensi penurunan fungsi lingkungan akibat aktivitas penambangan masih mungkin terjadi. Tailing sebagai hasil sampingan produk pertambangan ke dalam lingkungan. Karena pembuangan tailing ini berjalan terus seiring produksi perusahaan maka volume yang dikeluarkan juga akan menerus dalam jumlah besar sehingga perlu pengelolaan yang kontinyu dan akurat. Kemudian dengan lubang bukaan akibat proses aktivitas open pit mining yang bisa menyebabkan timbulnya cekungan luas. Ini adalah beberapa potensi yang mungkn terjadi akibat aktivitas pertambangan.

Tetapi banyak orang yang hanya melihat pertambangan dari sisi kerusakan yang ditimbulkan, tanpa mau mengetahui bahwa di belakang semua aktivitas tersebut, aktivitas pertambangan harus selalu diakhiri dengan total mine closure yaitu rangkaian kegiatan penutupan tambang yang memperhatikan faktor lingkungan, kesejahteraan masyarakat dan profit.

Jadi selalu ada ektivitas reklamasi, revegetasi dan penanaman kembali lahan eks tambang. Kemudian penutupan dan pemindahfungsian lahan tambang yang tidak bisa ditanami untuk keperluan lain seperti pembuatan danau atau lokasi perkikanan untuk cekungan yang memang tidak bisa ditanami lagi.

Kekeliruan bahwa pertambangan tidak memiliki konsep kepedulian lingkungan ini yang masih menjadi barier banyak eklogist belum dapat meneirma pertambangan sebagai aktivitas untuk kesejahteraan manusia. Sebagian bahkan memandang sebelah mata dan selalu melihat dengan preseden yang buruk.

GREEN MINING, itulah konsep yang perlu diajukan oleh pelaku dan praktisi pertambangan, sebagai suatu jembatan untuk dapat mensinergikan pertambangan dengan lingkungan. Karena dua hal ini pada dasarnya merupakan aktivitas manusia yang ditujukan untuk dapat memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan hidupnya.

Tambang tidak selalu bersifat merusak, adakalanya dampak yang ditimbulkan itu dapat menjadi berkah untuk kegiatan lain. Tailing misalnya, bukan saja sebagai limbah, namun dapat sebagai sumberdaya jika dimanfaatkan untuk keperluan lain semisal pembuatan batako dan bahan agregat, pembuatan jalan raya maupun bahan pencampur keramik.
Green mining bukan berarti pertambangan tidak bisa melakukan aktivitas penambangan dan pengerukan untuk mendapatkan profit, tetapi disitu ada nilai perlindungan dan penghargaan terhadap lingkungan dan community. Justru yang diharapkan, dengan menerapkan perlindungan lingkungan dan couniy welfare ini, bisa menjadi persyaratan suatu usaha pertambangan untuk dapat meneruskan aktivitas ke tingkat profit yang lebih tinggi


M.Yasir Surya