Selasa, 29 April 2008

Survei investasi, 7 Warga RRC disandera


BANDA ACEH, - Tujuh Warga Negara Republik Rakyat Cina (RRC) dan satu orang Warga Negara Indonesia (WNI), Minggu (27/4) malam, disandera oleh tujuh pria bersenjata laras panjang dan memakai penutup wajah (sebo), di lokasi tambang timah hitam, Desa Pasir Putih, Kecamatan Pining, Gayo Lues. Mereka dilaporkan tengah melakukan survei investasi di lokasi itu.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan Serambi Indonesia, grup Persda Network, Senin (28/4), dari sejumlah sumber, ketujuh WN RRC yang disandera masih muda. (lihat, Mereka Disandera)
Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Pol Jodi Heriyadi yang dihubungi Serambi kemarin, membenarkan peristiwa tersebut. "Tiga orang di antaranya yakni Abdul Karim (WNI), Liang Jian, Peng Ying Xiang, sudah dilepas untuk mencari uang tebusan sebanyak 300 juta," kata Jodi.
Informasi dari Kapolres Gayo Lues, AKBP Drs Armia Fahmi ketiga orang yang sudah dilepas itu saat ini berada dalam pengamanan polisi. Kecamatan Pining berjarak sekitar 45 kilometer dari Blangkejeren. Meski hanya berjarak sekitar 45 km, namun waktu tempuh dengan mobil dari Blangkejeren ke Pining bisa mencapai sekitar dua jam, karena buruknya kondisi jalan. Pining berbatasan langsung dengan Kecamatan Lokop, Aceh Timur.
Kabar tentang penculikan terhadap warga Cina itu juga diungkap oleh Panglima Kodam Iskandar Muda, Mayjen TNI Supiadin AS, kepada wartawan di sela-sela serah terima jabatan (Setijab) Komandan Korem (Danrem) 012/Teuku Umar (TU) di Makorem setempat di Meulaboh, Aceh Barat, Senin (28/4).
Menurut Pangdam, dengan masih adanya kasus penyanderaan seperti ini terlebih menimpa investor yang akan menanamkan modalnya di Aceh membuktikan gangguan keamanan masih terjadi.
Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) Pusat, Ibrahim bin Syamsuddin mengatakan, menilai aksi menunjukkan masih ada kelompok yang berniat mengacaukan Aceh.

Senin, 28 April 2008

UU Migas Memihak Asing


Persoalan minyak dan gas (migas) di Indonesia berpangkal pada kesalahan undang-undang yang amat fatal. Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Migas yang disahkan Pemerintahan Megawati itu meliberalisasi seluruh kegiatan usaha migas, mulai dari sektor hulu hingga sektor hilir. Tak ayal, setelah UU itu disahkan pada 23 Nopember 2001, korporasi asing kian leluasa menguasai bisnis migas. Jika sebelumnya korporasi asing itu sudah menguasai sektor hulu, kini mereka segera merambah sektor hilir.


Negara Sekedar Regulator

Dalam UU Migas ini kekuasaan negara atas migas benar-benar dikebiri. Peran dan kewenangannya dipangkas hanya sebatas sebagai regulator. Secara formal negara memang masih diakui sebagai pihak yang menguasai migas (pasal 4 ayat 1). Akan tetapi, penguasaan itu sekadar menjadikan Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan (pasal 4 ayat 2). Yang dimaksud dengan kuasa pertambangan adalah wewenang yang diberikan negara kepada pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi (Dalam pasal 1 ayat 5). Sebagai pemegang kuasa pertambangan, Pemerintah diberi kewenangan membentuk Badan Pelaksana (Pasal 4 ayat 3).

Kendati disebut sebagai badan pelaksana, fungsi dan tugasnya tidak melaksanakan kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi secara langsung. Badan ini hanya berfungsi melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu (Pasal 44 ayat 2). Di antara tugasnya adalah melaksanakan penandatanganan kontrak kerjasama, memonitor pelaksanaannya, dan menunjuk penjual migas (Pasal 44 ayat 3). Adapun pelaksana langsung kegiatan eksplorasi dan eksploitasi—disebut dengan kegiatan usaha hulu—adalah Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang didasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana (Bab IV, pasal 11, ayat 1).

Ketentuan ini jelas sangat aneh dan tidak masuk akal. Jika negara diakui sebagai pihak yang menguasai migas, mengapa negara tidak diperkenankan melakukan penyelenggaraan eksplorasi dan eksploitasi dan dipaksa harus menyerahkan kepada pihak lain? Memang dalam pasal 9 ayat 1 disebutkan bahwa kegiatan usaha hulu bisa dilakukan BUMN atau BUMD. Akan tetapi, kedua badan usaha itu hanya berkedudukan sebagai pelaku usaha yang diletakkan sejajar dengan swasta, termasuk korporasi asing. Untuk bisa mendapatkan proyek penambangan migas, BUMN atau BUMD itu pun harus bersaing dengan semua perusahaan swasta.

Ketentuan serupa juga berlaku dalam sektor hilir yang meliputi pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga. Kewenangan Pemerintah hanya sebatas membentuk Badan Pengatur yang bertugas melakukan pengaturan dan pengawasan pada kegiatan usaha hilir (Bab I, pasal 1, ayat 24). Sebagaimana dalam sektor hulu, pelaku usaha pada sektor hilir ini juga berupa BUMN, BUMD, koperasi, usaha kecil, dan badan usaha swasta (Bab III, pasal 9, ayat 1). Jelaslah, dalam UU Migas negara hanya diposisikan sebagai regulator yang mengatur lalu lintas jalannya usaha migas.


Berdasarkan Mekanisme Pasar

Di samping mengebiri kepemilikan negara atas migas dan memangkas kewenangannya hanya sebagai regulator, UU Migas juga menjadikan seluruh kegiatan usaha migas, baik sektor hulu maupun hilir, semata berdasarkan pada mekanisme pasar. Realitas ini dapat ditemukan dalam banyak pasal-pasalnya. Dalam pasal 3a dinyatakan, bahwa untuk menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi dilakukan melalui mekanisme yang terbuka dan transparan.

Ungkapan ini jelas menjadikan mekanisme pasar dalam penyelenggaraan kegiatan usaha hulu. Untuk dapat memenangkan tender, semua pelaku usaha diharuskan menempuh mekanisme itu. Ketentuan ini juga berlaku bagi BUMN. Bertolak dari ketentuan ini, tak aneh jika Pertamina dibiarkan oleh Pemerintah bersaing bebas dengan ExxonMobil dalam memperebutkan Blok Cepu.

Mekanisme pasar bebas juga diberlakukan dalam kegiatan usaha hilir. Dalam pasal 3b dinyatakan, bahwa untuk menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan. Ungkapan yang sama kembali ditegaskan dalam pasal 7 ayat 2 yang berbunyi: Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2 diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.

Dengan ketentuan ini, liberalisasi migas merambah hingga ke sektor hilir. Jika sebelumnya hanya Pertamina yang diizinkan menguasai sektor ini, kini terbuka lebar bagi masuknya swasta, termasuk korporasi asing. Memang dalam pasal 9 ayat 2 disebutkan bahwa Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melakukan kegiatan usaha hulu (Pasal 1 ayat 18: Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah NKRI yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia). Akan tetapi, korporasi asing itu bisa saja mendirikan anak perusahan di sini dengan menjadi badan hukum. Kini sudah ada beberapa perusahaan asing yang turut dalam kegiatan usaha hilir, seperti Shell (Belanda) dan Petronas (Malaysia).

Mekanisme pasar juga berlaku dalam penentuan harga migas yang dijual kepada masyarakat. Dalam pasal 28 ayat 2 termaktub: Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Dengan ketentuan ini, Pemerintah tidak lagi berhak mematok harga BBM seperti yang selama ini dilakukan, juga tidak boleh memberi subsidi BBM. Harga harus diserahkan kepada pasar. Memang oleh MK pasal ini telah dibatalkan. Namun, itu menunjukkan bahwa UU Migas dibuat untuk meliberasasi seluruh bisnis migas. Inilah yang dilakukan oleh Pemerintah selama ini. Dengan berbagai alasan, Pemerintah berusaha menghapus subsidi harga BBM di pasaran.


Melempangkan Jalan bagi Asing

Jika dicermati, berbagai ketentuan itu membuka peluang lebar bagi korporasi asing untuk menguasai bisnis minyak di Indonesia. Ketika negara hanya ditempatkan sebagai regulator, sementara semua kegiatan usahanya didasarkan pada mekanisme pasar, maka hampir dipastikan pemenangnya adalah pemilik modal besar, teknologi canggih, dan manajemen bagus. Kriteria itu lebih banyak dimiliki oleh korporasi asing.

Tanpa pemihakan dari negara, tak sulit bagi korporasi-korporasi asing untuk melibas perusahaan-perusahaan domestik. Selama ini, korporasi asing sudah merajai migas di sektor hulu. Chevron Pacific Indonesia (CPI), TOTAL, Exspan, Conocophillips, Petrochina, Vico, ExxonMobil, dan korporasi asing lainnya menguasai sekitar 90% produksi minyak bumi di Indonesia. Adapun Pertamina hanya memproduksi 48.400 barel perhari atau 4,42% dari total produksi 1.094.500 barel perhari. Produksi gas bumi juga tak jauh berbeda. Pertamina hanya menyumbangkan sekitar 12,67% dari total produksi. Perubahan Pertamina menjadi Persero dan kedudukannya tak lebih dari koprorasi asing (pasal 60a dan pasal 61b) diperkirakan akan membuat korporasi asing semakin berjaya.

Kondisinya akan makin parah ketika korporasi asing juga diperkenankan ikut dalam sektor hilir yang selama ini dikuasai Pertamina. Mereka sudah antre untuk mendapatkan izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU). Mereka akan mengusai semua bisnis migas, mulai dari eksplorasi dan eksploitasi hingga menjualnya kepada konsumen. Sebaliknya, perusahaan domestik akan tersingkir, termasuk Pertamina. Apalagi koperasi dan usaha kecil yang juga disebut dalam UU Migas bisa menyelenggarakan bisnis migas. Mereka hanya bisa gigit jari.

Sungguh, tidak dapat diterima nalar sehat; ada sebuah UU yang justru melemahkan kedaulatan negara, membatasi peran pemerintah, dan menyengsarakan rakyatnya sendiri. Lebih tragis, UU Migas ini secara eksplisit lebih berpihak pada kepentingan asing. Dalam Pasal 22 ayat 1 dinyatakan, “Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Ketentuan ini jelas amat membahayakan ketercukupan migas dalam negeri. Bagaimana jika persediaan migas makin menipis sehingga produksinya tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri? Apakah yang diserahkan hanya 25% saja? Bukankah kebutuhan dalam negeri harus lebih dulu tercukupi, sisanya baru diekspor? Pasal ini oleh Mahkamah Konstitusi telah direvisi, namun hanya dengan menghilangkan kata “paling banyak”. Penghilangan itu tetap saja bermasalah. Lalu apa makna kata 25% itu? Tidak jelas!

Pemihakan terhadap asing itu menunjukkan besarnya intervensi asing dalam pembuatan UU Migas itu. Pada tanggal 4 Februari 2000 Dewan Direksi IMF di Washington mengadakan pertemuan untuk menyetujui langkah dan jadwal reformasi “sektor energi” dengan kompensasi bantuan sebesar 260 juta dolar AS dan sebesar lima miliar dolar AS dalam tiga tahun berikutnya akan dikucurkan.

Intervensi asing itu kian jelas jika kita menyimak pernyataan USAID (United States Agency for International Development), ‘’USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform (USAID telah menjadi donor bilateral utama yang bekerja pada reformasi sektor energi).’’ Khusus mengenai penyusunan UU Migas, USAID secara terbuka menyatakan, ‘’The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000‘ (ADB dan USAID telah bekerjasama untuk membuat draf undang-undang gas dan minyak yang baru pada tahun 2000.” (http:www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-009.html).