Jumat, 27 Februari 2009

Tambang Bukan Satu-Satunya Perusak Hutan

25 Februari 2009
www.majalahtambang.com
Jakarta – TAMBANG. Kerusakan hutan Indonesia yang teramat parah, tidak hanya diakibatkan oleh aktivitas pertambangan. Banyak kegiatan pembangunan lainnya, seperti pembangunan jalan dan jembatan, juga pemekaran daerah, yang berdampak pada hancurnya ekosistem rimba raya.

Maka dari itu, Prof Dr Emil Salim merekomendasikan, penyusunan pedoman reklamasi harus pula melibatkan Departemen Pekerjaan Umum (PU) dan Departemen Dalam Negeri (Depdagri).

Tampil sebagai Keynote Speaker dalam “Workshop Pedoman Evaluasi Keberhasilan Reklamasi Hutan”, yang digelar Forum Reklamasi Hutan Pada Lahan Bekas Tambang, di Gedung Manggala Wanabakti, Komplek Departemen Kehutanan, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Rabu, 25 Februari 2009, Emil Salim mengungkapkan pentingnya keterlibatan aspek tata ruang dalam mengevaluasi keberhasilan reklamasi.

“Hal ini untuk menentukan, apakah reklamasi harus persis dengan rona semula (sebelum ditambang)? Kalau itu yang dimau, tentunya semua infrastruktur yang sudah dibangun, harus dibongkar semua. Tapi kan masyarakat butuh infrastruktur?,” ujarnya.


Di sinilah aspek tata ruang masuk, sebagai intervensi pemerintah atas management resources (manajemen sumber daya alam). Tambang boleh mendapatkan pinjam pakai kawasan hutan, asalkan ketika tambang berakhir pembangunan berkelanjutan tetap berlangsung.

“Indikator tetap berlangsungnya pembangunan berkelanjutan, ialah pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial terpenuhi, plus kualitas lingkungan tidak turun,” jelas Emil yang kini menjabat Penasihat Presiden RI Bidang Lingkungan.

Dia pun mengungkapkan, saat ini kerusakan hutan tidak hanya diakibatkan oleh aktivitas pertambangan. Justru insan pertambangan sudah semakin memahami pentingnya daya dukung lingkungan, dan sustainable development. Saat ini, kerusakan hutan justru datang dari aktivitas politik yang tak terkontrol.

Dia mencontohkan, pemekaran Kabupaten Buton dan Muna, di Sulawesi Tenggara, yang menimbulkan daerah-daerah baru. Sebelumnya di Buton dan Muna ada hutan suaka yang menjadi habitat satwa langka Anoa dan burung Maleo.

Pemerintah di daerah-daerah baru itu berencana membuka hutan yang merupakan suaka margawasatwa, menjadi kota kabupaten dan jalan akses. Jika rencana itu benar-benar dijalankan, maka punahlah hutan sebagai habitat Maleo dan Anoa.

Demikian pula dengan salah satu daerah di Kalimantan, yang berencana membuat jalan tembus lintas provinsi. Pembangunan jalan itu akan membuka hutan, dan merusak habitat serta ekosistem yang ada di dalamnya.

Dari sana dapat disimpulkan, rusaknya hutan bukan hanya akibat penambangan. Maka dari itu, reklamasi tidak hanya tanggung jawab Departemen Kehutanan (Dephut) serta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Menteri PU dan Mendagri juga harus diundang untuk menyusun pedoman reklamasi. Jangan seperti yang sudah pernah terjadi, tambang tidak diizinkan beraktivitas di kawasan hutan lindung, tapi hutan lindung boleh dibuka untuk jalan tol. Ini merupakan kesalahan besar,” tandas Emil Salim.

Tidak ada komentar: